MUHAMMAD ABDUH DAN MODERNISME
oleh : Uni Zaefah
A.
Latar
Belakang
Modernisasi dalam bidang pendidikan adalah bagian terpenting dari
modernisasi sosial, ekonomi, dan politik.[1] Hal
tersebut bermakna bahwa untuk membangun dan membina masyarakat modern, maka
pendidikan adalah bagian yang sangat penting sebagai media tranformasi nilai
dan budaya maupun pengetahuan. Pendidikan akan mendorong berkembangnya
kecerdasan dan produk budaya masyarakat. Melalui pendidikan pula, muncul banyak
pembaharuan di berbagai aspek kehidupan.
Asumsi adanya hubungan yang signifikan antara pembaharuan dengan
pendidikan yaitu sebagaimana pendapat Syafi’i Ma’arif, bahwa salah satu fungsi
pendidikan adalah membebaskan masyarakat dari belenggu keterbelakangan.[2]
Hal itu mengindikasikan bahwa untuk mengadakan ijtihad, perubahan, atau
pembaharuan dalam masyarakat adalah pendidikan.
Bentuk ijtihad, pembaharuan, serta
modernisasi pendidikan dalam makalah ini mengacu pada pemikiran-pemikiran
Muhammad Abduh. Dia merupakan sosok yang gigih dalam mengembangkan gerakan
pembaharuan Islam melalui gerakan intelektual. Pemikirannya meninggalkan
pengaruh yang luas, tidak hanya di tanah airnya Mesir dan dunia Arab lainnya di
Timur Tengah, tetapi juga di dunia Islam lainnya termasuk di Indonesia. Biasanya disebutkan
bahwa pembaharuan dalam Islam di Indonesia timbul atas pengaruhnya Muhammad
Abduh, melalui artikel-artikel yang
dimuat Al Urwa Al Wusqa di Paris dan
Majalah Al Manar di Kairo, serta
pemikiran-pemikirannya yang terkandung dalam Tafsir Al Manar dan Risalah
At Tauhid.[3]
Pemikiran-pemikirannya layak untuk terus dikaji dan dipelajari. Persoalan yang
kita kaji dan pelajari bukan hanya pada persoalan kelembagaan pendidikan,
tetapi juga sikap mental yang dipengaruhi oleh budaya serta tata nilai dari
sebuah masyarakat.
B.
Biografi
Muhammad Abduh
Muhammad
Abduh adalah kawan dan murid setia Jamaluddin al-Afghani. Ide-ide jamaluddin
banyak yang ditransfer dan dikembangkan oleh Abduh. Nama lengkap Muhammad Abduh
adalah Syaikh Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Ia lahir di Mahallat
Nashr (terletak di Kabupaten Al-Buhairah, Mesir) pada tahun 1849 M dan wafat
pada 11 Juli 1905. Ayahnya, Abduh bin Hasan Khairullah, mempunyai silsilah
keturunan dengan bangsa Turki. Sedangkan ibunya, mempunyai silsilah keturunan
dengan tokoh besar Islam, Umar bin Khattab.[4]
Kedua
keluarga orang tua Abduh sudah lama tinggal di desa dekat Tanta’, tetapi pada
akhir masa kekuasaan Muhammad Ali Pasha mereka terpaksa pindah karena dibebani
banyak pajak yang tinggi oleh pegawai-pegawai Muhammad Ali. Selama beberapa
waktu, orangtua Abduh hidup tidak menentu di tengah kesulitan. Abduh sendiri
lahir dalam suasana demikian, meskipun keluarga itu kemudian kembali ke
desanya.
Pendidikan
dasar Abduh ditangani langsung oleh ayahnya yang mengajarkan membaca, menulis serta
ilmu-ilmu keislaman. Selanjutnya ia belajar menghafal Al-Qur’an di bawah
bimbingan seorang hafiz. Selama dua tahun, Abduh berhasil menghafal Al-Qur’an
dengan sempurna. Selanjutnya dalam usia lima belas tahun ia dikirim ayahnya ke
Madrasah al-Ahmadi di Thantha untuk belajar ilmu agama. Namun metode yang
dikembangkan disini sangat membosankan Abduh. Ia merasa tidak memperoleh
apa-apa dari madrasah ini dam meninggalkan Thantha untuk pulang kampung.
Pada
usis 16 tahun, Abduh dinikahkan oleh orangtuanya. Namun demikian, ayahnya tetap
mengharapkannya melanjutkan pelajaran dan mengirimnya kembali ke Thantha.[5]
Abduh tidak bisa menolak kemauan ayahnya. Akan tetpi, ia tidak berangkat ke
Thantha, karena sudah tidak semangat melihat belajar yang membosankannya. Akhirnya
ia berangkat ke sebuah desa bernama Kanish Urin, tempat tinggal keluarga
ayahnya. Di sini ia bertemu dengan Syekh Darwisy, beliaulah yang mengubah
hidupnya dari seorang yang frustasi pada sekolah menjadi seorang yang haus
ilmu. Stelah mendapat “sentuhan” dari Syekh Darwisy, ia akhirnya kembali ke
Thantha untuk meneruskan pelajaran.
Setelah
selesai menuntut ilmu di Thantha, barulah ia masuk Unversitas al-Azhar, Kairo
pada tahun 1866 M. Ketika kuliah di al-Azhar, Sayyid Jamaliddin datang ke Mesir
dalam perjalanannya menuju Istanbul. Kesempatan ini digunakan Abduh untuk
berdiskusi dan menimba ilmu pengetahuan dari tokoh pemersatu umat ini. Pada
tahun 1871 Jamaluddin datang kembali ke Mesir, Abduh tidak menyi-nyiakan
kesempatan untuk menjadi murid setianya. Ia belajar filsafat pada Jamaluddin,
di samping mulai menulis karangan-karangan untuk surat kabar al-Ahram, sebuah
harian yang baru saja terbit kala itu.[6]
Abduh
menyelesaikan studinya di al-Azhar pada 1877. Selanjutnya ia mengembangkan
ilmunya dengan mengajar di Dar al ‘Ulum,
di samping juga mengajar di rumahnya sendiri. Di rumahnya, ia mengajarkan buku
tentang akhlak berjudul Tahdzib al-Akhlaq
karangan Ibn Miskawaih, Muqaddimah karangan
Ibn Khaldun dan History of Civilization
in Europe yang sudah diterjemahkan oleh al-Thahtawi.[7]
Selain
mengajar, Abduh juga terlibat aktif dalam gerakan politik. Ia membantu
Jamaluddin dalam menentang penguasa, Khadewi taufiq. Akibatnya, Abduh dibuang
keluar Kairo setelah sebelumnya pada 1879 Jamaluddin diusir dari Mesir. Namun
setahun kemudian, Abduh diizinkan kembali ke kairo dan diangkat menjadi
redaktur untuk surat kabar al-Waqa’I
al-Mishriyah. Di bawah pimpinan Muhammad Abduh, surat kabar mengalami
kemajuan, karena banyak memuat berita tentang pentingnya nasionalisme.
Setelah
beberapa lama Muhammad Abduh pergi ke Paris memenuhi undangan Jamaluddin al-Afghani. Di
Paris mereka menggerakkan umat Islam dunia dengan membentuk organisasi al-‘Urwah al-Wutsqa’ (Tali yang Kukuh),
yang bertujuan menyatukan umat Islam, melepaskan mereka dari perpecahan dan
cengkraman bangsa-bangsa Barat. Organisasi ini juga menerbitkan jurnal yang
menggerakkan umat Islam.
Muhammad
Abduh ternyata masih memiliki peluang yang cukup besar untuk menjadi seorang
motivasi bagi perkembangan dunia pendidikan. Dan pada tahun 1894 M, Muhammad
Abduh diberi kepercayaan untuk menjadi salah seorang anggota Majlis
A’la universitas Al-Azhar, Mesir. Ketika itulah iapun melakukan berbagai
perubahan dalam Al-Azhar. Kemudian pada tahun 1899 M, Muhammad Abduh menduduiki
jabatan sebagai seorang mufti Mesir. Jabatan ini dipegangnya hingga ia
meninggal yakni pada tahun 1905 M.[8]
C.
Pemikiran Muhammad Abduh
Tentang Taklid dan Ijtihad
Muhammad
Abduh berpendapat bahwa keterbelakangan dan kemunduran umat Islam disebabkan
oleh pendangan dan sikap jumud (beku, statis), sehingga tidak mau berpikir dinamis menuju kemajuan.
Sikap dan pandangan seperti ini menyebabkan umat islam tidak mau menerima
perubahan. Selain itu, sikap jumud ini dalam pandangan Muhammad Abduh
sebagai sesuatu yang bertantangan dengan ajaran Islam seperti kepatuhan yang
sangat dalam kepada ulama, pemujaan berlebihan terhadap syaikh dan
paham taklid buta kepada ulama. Dari fenomena inilah Muhammad Abduh ingin
menghilangkan tradisi yang ada dimasyarakat, yakni lansung kembali keajaran
islam yang murni yaitu Al-Qur’an dan hadits.
Melihat
keadaan masyarakat disekitarnya, Muhammad Abduh sangat tidak
menyukai taklid. Orang yang melakukan taklid, menurut
Muhammad Abduh memiliki derajat yang sangat rendah, karena hanya melihat lahir
perbuatan orang yang diikutinya, tanpa memeriksa dasar dan pribadi orang yang
diikutinya. Hal ini membuat perbuatan taklid menjadi tanpa dasar.
Mereka
harus harus melakukan interprestasi ulang terhadap pendapat-pendapat ulama masa
lalu yang mungkin tidak lagi sejalan dengan masa yang sekarang. Pendapat ulama
tidaklah mutlak benar dan mengikat. Menurut Abduh, ajaran Islam terbagi dua,
yaitu masalah ibadah dan masalah muamalah
(sosial kemasyarakatan). Al-Qu’an dan hadits
telah menetapkan aturan jelas mengenai ibadah. Sedangkan ajaran islam mengenai
hidup kemasyarakatan merupakan ajaran-ajaran dasar dan prinsip umum yang dapat
disesuaikan dengan perkembangan zaman. Pintu ijtihad harus dibuka
seluas-luasnya terhadap masalah ini dan taklid yang menjadi sumber kemunduran
umat Islam harus diperangi.
Pendapat
Muhammad Abduh tentang tentang perlunya ijtihad dan
pemberantasan taklid, didasari dengan kepercayaannya kepada akal. Karena
menurutnya akal bisa membedakan yang baik dan yang buruk, antara yang bermanfaat
dengan yang tidak bermanfaat.[9]
Meskipun
demikian Muhammad Abduh tetap mengakui keterbatasan akal dari manusia.
Menurutnya selain akal juga diperlukan wahyu. Sebab, tanpa wahyu akal tidak
mampu membawa manusia mencapai kebahagiaan.
D.
Pemikiran Muhammad Abduh Tentang
Modernisasi Pendidikan Islam
Pada masa
Abduh, Dunia Islam mengalami penjajahan dan kolonialisasi oleh Negara-negara
Barat. Menurut Abduh, kehadiran bangsa-bangsa Barat tidak hanya menguasai Dunia
Islam, tetapi juga mengembangkan sistem nilai mereka, seperti dalam bidang
sosial, politik, pendidikan, budaya dan hukum,terhadap umat Islam.
Muhammad
Abduh sangat prihatin dengan kemunduran dan masalah yang dihadapi oleh umat
Islam, Muhammad abduh berkeyakinan bahwa cara yang terbaik untuk mengadakan
pembaharuan dan meningkatkan kehidupan umat Islam adalah melalui pendidikan
yang dapat merubah kearah yang lebih baik.
Dalam
pengamatan Muhammad Abduh, di Mesir sendiri terdapat dualisme pendididkan
antara pendidikan tradisionalis agama dan pendidikan modern Barat. Di satu sisi, terdapat madrasah-madrasah yang
memberikan pendidikan agama tanpa memasukkan kurikulum pendidikan umum. Di sisi
lain, terdapat sekolah-sekolah umum yang dikelola pemerintah yang tidak
memberikan pendidikan agama bagi murid-muridnya. Sehingga, membuat dua sistem
pendidikan yang berbeda dan sulit untuk dipertemukan.[10]
Abduh memandang dualisme sistem pendidikan
yang ada di mesir itu tidak baik bagi bagi umat islam. Karena akan melahirkan dua
kubu yang saling merasa unggul. Karena sistem madrasah yang lama melahirkan ulama
yang kurang pengetehuannya di ilmu modern. Sedangkan sekolah umum pengetehuan agamanya
sedikit. Maka dari itu perlu dimasukan kurikulum pengetahuan umum ke madrasah.
E.
Pemikiran
Muhammad Abduh Tentang Pemerintahan
Selain
menggalakkan berpikir kritis dan
pengembangan ijtihad, Abduh menandang perlunya perubahan pemerintahan dari
otoriter dan tidak dibatasi oleh peraturan perundang-undangan kepada
pemerintahan yang konstitusional. Untuk itu, Abduh menekankan perlunya lembaga
perwakilan untuk mengontrol kekuasaan. Namun Abduh tidak sependapat dengan
gurunya Jamaluddin yang menghendaki revolusi untuk membentuk dewan perwakilan
tersebut. Ia menginginkan cara-cara
evolusioner untuk mewujudkannya, karena situasi dan kondisi masyarakat Mesir
masih belum mendukung untuk itu. Karena itu, yang pertama kali harus dilakukan,
menurut Abduh, adalah melakukan proses pencerdasan bagi masyarakat sehingga
mereka mengerti hak dan kewajiban mereka sebagi warga Negara. Proses realisasi
gagasan pembentukan dewan perwakilan sebaiknya dilakukan secara bertahap.
Setidaknya, diperlukan waktu sekitar lima belas tahun untuk melatih rakyat
untuk mengerti dan memanfaatkan hak-hak politik mereka serta bertanggung jawab.[11]
Abduh
sangat menolak umat Islam yang mencoba mencari sistem hukum yang tidak sejalan
dengan tradisi budaya dan masyarakatnya. Dalam hal ini, Abduh menolak adopsi
sistem hukum Barat untuk umat Islam. Menurut Abduh, hukum yang akan dijalankan
untuk masyarakat haruslah sesuai dengan kepribadian masyarakat itu sendiri.
Hukum barat hanya sesuai dengan kepribadian dan identitas masyarakat Barat yang
sangat menjunjung tinggi semangat liberalisme. Kalau ini diterapkan untuk
masyarakat muslim, maka mereka akan kehilangan identitasnya sebagai masyarakat
yang religius. Ini akan membuat masyarakat muslim mengalami keterpecahan.
Sejalan
dengan pandangan Abduh tentang pembatasan kekuasaan kepala Negara, ia menolak
adanya kekuasaan keagamaan. Baginya, Islam tidak memberikan kekuasaan kepada
seseorang atau suatu kelompok orang untuk menindak orang lain atas dasar mandat
agama atau dari Tuhan. Islam tidak membenarkan campur tangan orang lain,
sekalipun penguasa, dalam urusan kehidupan keagaamaan orang lain. Islam juga
tidak mengakui hak seseorang untuk memaksakan pendapat dan penafsirannya
tentang agama kepada orang lain. Bagi Abduh, pemimpin Negara adalah penguasa
sipil yang diangkat dan diberhentikan oleh masyarakatnya sendiri melalui
mekanisme tertentu. Karenanya, Abduh menolak paham penguasa sebagai Zhill Allah fi al-ardh (Bayang-bayang
Allah di muka Bumi), sebagaimana pandangan pemikir muslim pada abad klasik dan
pertengahan.
Bagi
Abduh, kepala Negara adalah penguasa sipil yang diangkat dan diberhentikan oleh
rakyat, bukan oleh Tuhan. Abduh menerima ide-ide Barat tentang demokrasi yang
menyatakan bahwa kekuasaan pada dasarnya adalah milik rakyat dan penguasa hanya
menjalankan amanah yang diberikan rakyat kepadanya. Karena itu, Abduh
menegaskan bahwa rakyat boleh menggulingkan penguasa bila ia bertindak despotik
dan tidak adil, serta kesejahteraan rakyat menuntut hal ini.
Pandangan
Abduh tentang hubungan agama dan politik dituangkanya dalam program partai
Nasional Mesir yang dirumuskannya. Dalam rumusan tersebut dinyatakan bahwa
partai Nasional adalah partai politik, bukan partai agama, yang keanggotaannya
yang terdiri atas orang-orang dari berbagai kepercayaan dan mazhab, termasuk
orang Kristen dan Yahudi, serta semua yang bercocok tanam di Bumi Mesir dan
berbicara bahasa Mesir, karena partai ini tidak melihat perbedaan keyakinan.
Partai didasarkan atas kesadaran bahwa semua orang Mesir itu saudara satu sama
lain, dan hak-hak mereka dalam politik dan muka hukum itu sama.[12]
F.
Kesimpulan
Muhammad Abduh adalah seorang pembaharu.
Pemikirannya muncul atas situasi dan tuntutan sosial yang mengharuskannya
melakukan pembaharuan. Ketika orang lain tidak melakukan hal yang sama dan
bahkan sering menentang pembaharuan yang dilakukannya, memang itulah watak
setiap modernis. Modernis adalah orang yang paling cepat tanggap merespon perkembangan yang terjadi dan
sekaligus paling cepat diresponi oleh masyarakat sekitarnya.
Meskipun seorang modernis, Abduh juga seorang yang
mempertahankan warisan klasik yang masih relevan digunakan. Muhammad Abduh adalah seorang pembaharu yang mengajak kepada perbaikan
yang tidak hanya dalam tataran teoritis dengan jalan mengarang,
seminar-seminar, mempresentasikan makalahnya saja tetapi ia bersaha membawa pikiran
pemikiran pembaharuannya kepada amal perbuatan dan tenggelam dalam
kehidupan nyata agar dapat melangsungkan rencana pembaharuannya.
DAFTAR PUSTAKA
Asmuni, Yusran, Pengantar
Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Islam: Dirasah Islamiah III,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998).
Ma’arif,
Syafi’i, Peta Intelektual Muslim
Indonesia, (Bandung: Mizan, 1994).
Mulkhan,
Abdul Munir, Paradigma Intelektual
Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan dan Dakwah. (Yogyakarta: SI Press, 1992).
Murodi, Sejarah
Kebudayaan Islam, (Semarang : PT Karya Toha Putra, 2004).
Nasution,
Harun, Pembaharuan dalam Islam : Sejarah
Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 19975).
Nasution, Harun, Muhammad
Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: UI-Press, 1987).
Sjadzali,
Munawir, Islam dan Tata Negara,
(Jakarta: UI Press, 2008).
[1]Abdul Munir
Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim:
Pengantar Filsafat Pendidikan dan Dakwah. (Yogyakarta: SI Press,1992), 123.
[2]Syafi’i Ma’arif, Peta Intelektual Muslim Indonesia, (Bandung:
Mizan, 1994), 40.
[3]Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah,
(Jakarta: UI-Press, 1987), 1.
[4]Yusran
Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Islam:
Dirasah Islamiah III, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), 78.
[6]Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran
dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 19975), 10.
[11]Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI
Press, 2008), 129-130.
[12]Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara…, 131.