Get me outta here!

Minggu, 09 April 2017

MAKALAH MASAIL FIQHIYYAH (Penentuan Awal Ramadhan Dan Idul Fitri)




MAKALAH

PENENTUAN AWAL BULAN RAMADHAN DAN IDUL FITRI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah :
MASAIL FIQHIYYAH
Dosen :
Fuad Masykur, S.Ag., MA




DISUSUN OLEH :
UNI ZAEFAH : 1516.01.023

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEMESTER IV
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM BINAMADANI
TAHUN AKADEMIK 2016/2017
 


PENENTUAN AWAL RAMADHAN DAN IDUL FITRI
A.      Latar Belakang
Penentuan awal Ramadhan merupakan persoalan yang menarik untuk dikaji. Manakala dasar pijakan hukumnya sama, namun dalam dataran implementasinya sering terjadi perbedaan. Di samping itu walaupun penentuan awal ramadhan, Idul Fitri (1 syawal), dan Idul Adha (Dzulhijjah) ini merupakan persoalan klasik. Namun, kiranya selalu muncul actual terutama menjelang awal Ramadhan, Idul Fitri (Syawal), dan Idul Adha  (Dzulhijjah). Tidak mengherankan saat menjelang Ramadhan sering terjadi perselisihan dan perbedaan di tengah-tengah masyarakat.
Kaum Muslim di seluruh dunia akan menjalani salah satu rukun Islam yakni berpuasa di bulan Ramadhan. Namun, penentuan 1 Ramadhan membutuhkan perhitungan matang dan akurat. Hal itu disebabkan kalender Islam (Qomariyah) merujuk pada perputaran bulan sedangkan perhitungan kalender masehi, kalender yang digunakan di Indonesia merujuk pada perputaran matahari (Syamsiyah). Sebabnya, penentuan 1 Ramadhan harus didahului dengan memastikan apakah bulan baru telah muncul di ufuk timur atau dalam ajaran Islam disebut (hilal).[1]
Di Indonesia, terdapat dua metode yang dipergunakan dalam penetapan awal puasa ramadhan. Metode pertama dikenal dengan istilah rukyat. Metode ini menggunakan pandangan mata, baik tanpa alat maupun dengan alat.[2] Metode kedua dikenal dengan istilah hisab. Metode hisab menentukan 1 Ramadhan dengan perhitungan matematika astronomi.

B.       Pengertian Rukyat dan Hisab
1.    Rukyat
Rukyat adalah kegiatan melihat hilal bil fi’li, yaitu melihat hilal dengan mata, baik tanpa alat maupun alat.[3] Hal ini sebagaimana hadits-hadits perintah puasa berdasarkan rukyat.
صوموالرؤيته وافطروالرؤيته فان غمّ عليكم فاكملوا عدّة شعبان ثلاثين (رواه البخاري)
Berpuasalah kalian setelah melihat (rukyat), dan berbukalah kalian karena melihat hilal. Maka jika ia tertutup awan bagimu, maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban tiga puluh.” (HR.Bukhari)[4]
Di samping itu, NU juga mengutip pendapat dari Imam Muhammad Bakhith al-Muthi’i, seorang ulama bermazhab Hanafi yang mengatakan bahwa pengertian rukyat yang cepat dipahami adalah melihat bi al-fi’li artinya benar-benar dengan mata, hal ini karena rukyat mudah dilakukan sehingga bisa dilakukan oleh semua orang. Berbanding terbalik dengan hisab yang tidak dipahami oleh semua orang.[5] Adapun rukyat dilakukan pada malam ke-30 (akhir tanggal 29), dengan didasarkan pada hadits yang di riwayatkan oleh Ibnu Umar, dan dilakukan pada sore hari setelah terbenam Matahari, sebagaimana pendapat Imam al-Ramli dalam kitab Nihayat al-Muhtaj dan Imam Ibnu Hajar dalam kitab Tuhfat al-Muhtaj. Imam al-Ramli mengatakan:
وانمايجب باءكمال شعبان ثلاثين يوما اورؤية الهلال ليلة الثلاثين منه (نهاية المحتاج)
 “Wajib berpuasa hanya karena istikmal say’ban 30 hari atau rukyatul hilal pada malam ke-30nya.”[6]
Imam Ibnu Hajar mengatakan dalam kitab Tuhfatul Muhtaj jilid III:
(اورؤية الهلال) بعد الغروب لابواسطة نحومراة كماهوظاهرليلة الثلاثين منه (تحفة المحتاج)
“Atau rukyatul hilal sesudah terbenam matahari tanpa perantara semacam cermin, sebagaimana jelas, pada malam kertiga puluhnya.”[7]
            Rukyat menggunakan alat diperbolehkan asalkan alat tersebut untuk memperjelas obyek yang dilihat(عين الهلال)  dan bukan pantulan.[8]
Rukyat bisa diterima bila dilaporkan dari perukyat yang adil, mengucapkan kalimat syahadat, dan dalam memberi syahadat itu harus didampingi oleh dua orang saksi yang adil pula. Ketentuan ini didasarkan pada kitab I’anatut Thalibin juz 2 hal.216.[9]
2.    Hisab
Hisab itu maksudnya “perhitungan”. Dalam pengertian yang luas ilmu hisab adalah ilmu pengetahuan yang membahas seluk beluk perhitungan, yang di dalam bahasa inggris disebut arithmatic.[10]
Dalam pengertian yang sempit, ilmu hisab adalah sebutan lain dari ilmu Falak, ialah ilmu pengetahuan yang membahas posisi dan lintasan benda-benda langit, tentang matahari, bulan dan bumi dari segi perhitungan ruang dan waktu.[11]
            Dari tingkat akurasinya, perkembangan methode perhitungan ilmu hisab secara umum dapat distratifikasikan dalam empat jenjang, yaitu:[12]
a)      Hisab Urfi
Metode hisab ini menetapkan satu daur ulang (siklus) 8 tahun. Di dalam kurun waktu 8 tahun ditetapkan ada tahu kabisah (yaitu tahun ke 2, 4, dan 7) dan 5 tahunBasithah (yaitu tahun ke 1,3,5,6 dan 8). Umur bulan ditetapkan 30 hari untuk bulan ganjil dan 29 hari untuk bulan genap.


b)      Hisab Istilahi
Metode ini menetapkan satu daur ulang (siklus) 30 tahun. Dalam kurun waktu 30 tahun ini ditetapkan 11 tahun Kabisah (yaitu tahun ke 2,5,7, 10,13,15,18,21,24,26 dan 29) dan 19 tahun Basithah (yaitu tahun ke 1, 3,4,6,8,9,11,16,17,19,20,22,25,28 dan 30)
c)      Hisab Haqiqi Bit Taqrib
Metode hisab ini menetapkan awal bulan berdasarkan perhitungan saat terjadinya ijtima’ bulan dan matahari (konjungsi) serta ketinggian (irtifa’) hilal pada saat terbenam matahari di akhir bulan yang didasarkan peredaran rata-rata bulan, bumi dan matahari.
d)     Hisab Haqiqi Bit Tahqiq
Metode ini sudah memasukkan unsure azimuth bulan, lintang tempat, kerendahan ufuk refraksi, semidiameter bulan, parallax dan lain-lain ke dalam proses perhitungan irtifal hilal.

C.      Metode Penentuan Awal Bulan Menggunakan Hisab dan Rukyat
a)         Metode Rukyat
Berikut adalah dasar-dasar penetapan awal bulan, khususnya bulan Ramadan, Syawal dan Dzulhijjah yang berlaku di kalangan NU sebagai mana tercantum dalam Keputusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama tentang Pedoman Penyelenggaraan Ru’yat bil Fi’li Nomor: 311 /A.II.04.d /I/ 1994 Pasal 1.[13]
1.      Pada dasarnya Lajnah Falakiyah NU tetap berpegang pada putusan Muktamar NU ke-27 tahun 1405 H/Tahun 1984 di Situbondo dan Munas Alim Ulama NU di Cilacap tahun 1409 H/1987, bahwa penetapan Awal Ramadan, Awal Syawal dan Awal Dzulhijjah wajib didasarkan atas Rukyatul Hilal bil Fi’li atau Istikmal. Sedangkan kedudukan hisab hanyalah sebagai pembantu dalam melakukan Rukyat.
2.      Bahwa penetapan Awal Ramadan, Awal Syawal danAwal Dzulhijjah yang berlaku umum bagi segenap lapisan kaum muslimin di Indonesia dilakukan oleh Pemerintah (Itsbatul Hakim). Oleh sebab itu agar diupayakan semaksimal mungkin adanya penyelenggaraan rukyat yang disaksikanolehpetugaspemerintah (Dep. Agama).
3.      Bila hal ini tidak dimungkinkan oleh karena satu dan lain hal, maka agar supaya Itsbatul Hakim dilakukan atas dasar Hasil Rukyat atau Istikmal, maka hasil Rukyat yang telah dilakukan di kalangan Nahdlatul Ulama supaya sesegera mungkin dilaporkan kepada Pemerintah c/q Departemen Agama RI untuk di itsbat. Pelaporannya bisa lewat PA (Pengadilan Agama) setempat atau langsung kepada departemen Agama Pusat (Badan Hisab dan Rukyat).
4.      Apabila Pemerintah c/q Departemen Agama menolak untuk melakukan itsbat atau istikmal, maka hasil rukyat yang telah dilakukan di kalangan Nahdlatul Ulama tersebut menjadi wewenang Pengurus Besar Nahdlatul Ulama /Lajnah Falakiyah untuk menginformasikan/  mengikhbarkan kepada segenap warganya di seluruh penjuru tanah air, melalui jaringan organisasi maupun saluran informasi yang ada.[14]
5.      Dalam melaksanakan tugas penyebaran informasi hasil-hasil rukyat kedaerah-daerah, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama/ PWNU/ PCNU/ MWC-NU menekankan perlunya ditempuh cara-cara yang bijaksana, santun dan simpatik.
6.      Rukyat bil Fi’li dengan menggunakan alat (nazdarah) diperbolehkan baik dalam keadaan cuaca cerah maupun dalam keadaan ghaym, kecuali bila posisi hilal berada di bawah ufuq menurut kesepakatan (ittifaq) para ahli hisab.[15]
Untuk kelancaran dalam standar operasional pelaksanaan rukyat ada beberapa langkah dan tahapan yang diperlukan, yaitu sebagai berikut:[16]
1.      Perlu adanya pedoman pelaksanaan rukyat yang dikeluarkan oleh PBNU yang memuat berbagai ketentuan teknis organisatoris maupun astronomis.
2.      Sehubungan dengan poin 1 di atas, maka beberapa persiapan teknis untuk pelaksanaan rukyat yang perlu dilakukan adalah:
a.    Menetapkan medan rukyat yang memenuhi syarat, yaitu bebas hambatan dan terletak di lokasi yang mengarah ke Ufuq Mar’ie di Barat. Medan rukyat terbaik menghadap ke laut.
b.   Membuat rincian tentang arah dan kedudukan matahari serta hilal sesuai dengan hisab bulan dan disertai Peta Proyeksi Rukyat.
c.    Menentukan kedudukan perukyat dan memasang alat bantu guna melokalisir/menta’yin jalur tenggelamnya matahari sesuai dengan Peta Proyeksi Rukyat yang sudah ditentukan.
d.   Membentuk Psko Rukyat di setiap kepengurusan (PBNU, PWNU, PCNU, MWCNU) sebagai Pusat Komunkasi antara petugas lapangan dengan pihak-pihak rukyat.
e.    Mempersiapkan logistic untuki mendukung penyelenggaraan rukyat
f.    Menghubungi dan mengajak Pengadilan Agama stempat untuk bersama-sama melakukan rukyat.
3.      Pelaksanaan rukyat dilakukan oleh petugas/perukyat yang memenuhi syarat-syarat ‘adalah dan berpengalaman. Dalam pelaksanaan tersebut perukyat melakukan observasi dengan konsentrasi penuh beberapa menit sebelum Matahari menyenuh ufuq, selama waktu rukyat yang diperhitungkan.
4.      Sebagai tindak lanjut pelaksanaan rukyat, maka:
a.    Perukyat merumuskan hasil observasi secara lengkap dan astronomis.
b.   Memberitahukan/melaporkan hasil rukyat kepada PBNU dan pihak-pihak terkait.
c.    Melaporkan secara resmi kepada Pengadilan Agama setempat.
b)   Metode Hisab
Seminar penyerasian Metode Hisab dan Rukyat yang diselenggarakan oleh PBNU/Lajnah Falakiyah mengamanatkan pentingnya suatu panduan untuk menuju kesatuan produk hisab resmi di lingkungan Nahdlatul Ulama yang bisa dijadikan pedoman pengamalan hisab di lingkungan Nahdlatul Ulama.[17]
Untuk itu diperlukan adanya suatu metode yang standar, yang memenuhi kriteria:
a.    Mempunyai  nilai akurasi yang memadai.
b.    Hasil perhitungannya mempunyai tingkat perbedaan yang relatif dekat dan bisa ditioleransi.
Dalam rangka itu beberapa faktor utama yang menyangkut data tempat, data awal, rumus penyelesaian, alat hitung dan contoh prosedur perhitungan perlu ditetapkan sebagai berikut:[18]
1)   Data Tempat
Data tempat (Lintang dan Bujur tempat) berfungsi untuk menentukan pelaksanaan rukyat. Bila data tempat ini berbeda, maka akan berbeda pula hasil perhitungan hisab.
2)   Data Awal
Data awal ini berfungsi sebagai dasar perhitungan hisab. Bila data awalnya berbeda, maka akan berbeda pula hasil perhitungan hisab.
3)   Rumus Penyelesaian
Rumus dipakai sebagai alat untuk memecahkan masalah. Rumus yang digunakan adalah rumus-rumus Spherical Trigonometri (Segitiga Bola) dengan penyelesaian matematis. Rumus ini sudah umum digunakan dikalangan para ahli astronomi dan prosedurnya lebih sederhana.
4)   Alat Hitung
Untuk menyelesaikan perhitungan harus digunakan alat-alat yang menjamin tingkat keakurasian hasil hisab, misalnya komputer atau kalkulator yang handal.
5)   Contoh Perhitungan
Contoh perhitungan hisab yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk penyerasian metode hisab di kalangan Nahdlatul Ulama, idealnya harus mampu menyerasikan berbagai model perhitungan yang selama ini lazim dipakai. Namun oleh karena hampir tidak mungkin dalam perhitungan hisab tercapai “kesepaktan keserasian”secara penuh, maka contoh hisab ini hanya bersumber dab merupakan penyerdehanaan dari metode/kitab “al-Khulashatul Wafiyah bi jaudalil Lugharitmiyah” yang disusun oleh KH. Zubair Umur al-Jailani.

D.      Hak Menentukan Awal Ramadhan dan Idul Fitri serta Idul Adha
1.    Penetapan (Itsbat) Awal Ramadhan dan Idul Fitri[19]
a)    Penetapan awal Ramadhan dan Idul Fitri dilakukan oleh pemerintah berdasarkan hasil rukyatul hilal dan istikmal.
b)   Penetapan (Itsbat) yang tidak didasarkan atas rukyatul hilal atau istikmal tidak wajib diikuti.
c)    Hasil rukyat yang diperoleh secara mutawatir kedudukannya sama dengan itsbat walaupun tidak dilibatkan oleh pemerintah.
d)   Rukyat dari satu orang yang adil, baik diisyhad (sumpah) atau tidak, yang tidak diitsbatkan wajib baginya dan bagi orang yang mempercayainya hasil rukyatnya itu.
e)    Hasil rukyat yang tidak diitsbatkan boleh diikhbarkan (diumumkan) untuk diikuti.
2.    Penetapan Awal Idul Adha
Penetapan awal Idul Adha (Dzulhijah) dan bulan-bulan yang lain sama dengan penetapan awal Ramadhan dan Idul Fitri, yaitu melalui rukyat atau istikmal.[20]
Dasarnya :
Bughyatul Mustarsyidin :
لايثبت رمضان كغيره من الشهور الا برؤية الهلال اواكمال العدة ثلاثين بلا فارق
“Tidak bisa ditetapkan Ramadhan itu, seperti bulan-bulan lain, kevuali dengan ru’yatul hilal atau menyempurnakan (istikmal) bilangan tiga puluh tanpa perbedaan.”[21]
            Wilayah berlakunya penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul adha adalah berlaku untuk seluruh wilayah negara Republik Indonesia, walaupun berbeda mathla’nya.
Dasarnya adalah:
Qalyubi wa Umairah jilid II :
واذا رؤي ببلدلزم حكمه البلد القريب دون البعيد في الاصح. والثاني يلزم في البعيد ايضا. ومسافة البعيد مسافة القصر. وقيل البعداختلاف المطالع قلت هذا اصح. 
“Dan apabila terlihat hilal disuatu negari maka hukumnya wajib berlaku bagi negeri yang dekat dan bukan yang jauh menurut pendapat yang ahah (lebih shahih). Dan pendapat yang kedua, wajib juga bagi nenegri yang jauh. Yang dimaksud jauh adalah yang membolehkan qashar shalat. Dikatakan bahwa jarak jauh ialah perbedaan mathla’. Menurut pendapat saya, ini ashah.” (Al Mahalli jilid II h.50).[22]


E.       Kesimpulan
Dari pembahasan makalah diatas dapat disimpulkan bahwa Ada dua metode untuk menentukan awal ramadhan, idul fitri dan idul adha, yaitu metode rukyat dan metode hisab. Rukyat adalah kegiatan melihat hilal bil fi’li, yaitu melihat hilal dengan mata, baik tanpa alat maupun alat. Pelaksanaan rukyat dilakukan oleh petugas/perukyat yang memenuhi syarat dan berpengalaman. Dalam pelaksanaan tersebut perukyat melakukan observasi dengan konsentrasi penuh beberapa menit sebelum Matahari menyentuh ufuq, selama waktu rukyat yang diperhitungkan.
Sedangkan hisab itu maksudnya perhitungan, dalam pengertian yang lebih luas adalah ilmu pengetahuan yang membahas seluk beluk perhitungan, yang di dalam bahasa inggris disebut arithmatik. Dari segi akurasinya, metode hisab distratifikasikan dalam empat jenjang, yaitu hisab urfi, hisab istilahi, hisab haqiqi bit-taqrib, dan hisab haqiqi bit-tahqiq.






                                             










DAFTAR PUSTAKA
Ar-Ramli, Syamsudin, Nihayatul Muhtaj Jilid III, (Beirut, Ihyaut Turats al-Arabi).
Asy-Syarwani, Abdul Hamid, Hawasyi Tuhfatul Muhtaj, (Mesir, Al-Maktabatut Tijariyah al-Kubra)
Ibn Muhammad Ba’lawi, Abdur Rahman, Bughyatul Mustarsyidin, (Damaskus: Darul Fikr).
Lajnah Falakiyah PBNU, Pedoman Rukyat dan Hisab Nahdlatul Ulama, (Jakarta: Lajnah Falakiyah PBNU, 2006).
Qalyubi wa Umairah, Hasyiyatan Ala Syahril Mahali Ala Minhajit Thalibin, (Mesir, Musthafa Al-Babi Al-Halabi wa Auladuhu).


[2]Lajnah Falakiyah PBNU, Pedoman Rukyat dan Hisab Nahdlatul Ulama, (Jakarta: Lajnah Falakiyah PBNU, 2006), 2.
[3]Lajnah Falakiyah PBNU, Pedoman Rukyat dan Hisab Nahdlatul Ulama..., 24.
[4]Lajnah Falakiyah PBNU, Pedoman Rukyat dan Hisab Nahdlatul Ulama..., 25
[5]Lajnah Falakiyah PBNU, Pedoman Rukyat dan Hisab Nahdlatul Ulama..., 25.
[6]Syamsudin Ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj Jilid III, (Beirut, Ihyaut Turats al-Arabi), 147.
[7]Abdul Hamid Asy-Syarwani, Hawasyi Tuhfatul Muhtaj, (Mesir, Al-Maktabatut Tijariyah al-Kubra), 372.
[8]Lajnah Falakiyah PBNU, Pedoman Rukyatdan Hisab Nahdlatul Ulama..., 27.
[9]Lajnah Falakiyah PBNU, Pedoman Rukyatdan Hisab Nahdlatul Ulama..., 30.
[10]Lajnah Falakiyah PBNU, Pedoman Rukyatdan Hisab Nahdlatul Ulama..., 47.
[11]Lajnah Falakiyah PBNU, Pedoman Rukyatdan Hisab Nahdlatul Ulama..., 47.
[12]Lajnah Falakiyah PBNU, Pedoman Rukyatdan Hisab Nahdlatul Ulama.., 5-6.
[13]Lajnah Falakiyah PBNU, Pedoman Rukyat dan  Hisab Nahdlatul Ulama..., 14-15.

[14]Lajnah Falakiyah PBNU, Pedoman Rukyat dan  Hisab Nahdlatul Ulama..., 15.
[15]Lajnah Falakiyah PBNU, Pedoman Rukyatdan Hisab Nahdlatul Ulama..., 15.
[16]Lajnah Falakiyah PBNU, Pedoman Rukyatdan Hisab Nahdlatul Ulama..., 3-4.
[17]Lajnah Falakiyah PBNU, Pedoman Rukyat dan  Hisab Nahdlatul Ulama..., 55.
[18]Lajnah Falakiyah PBNU, Pedoman Rukyat dan  Hisab Nahdlatul Ulama..., 55-57.

[19]Lajnah Falakiyah PBNU, Pedoman Rukyatdan Hisab Nahdlatul Ulama..., 39-42.
[20]Lajnah Falakiyah PBNU, Pedoman Rukyatdan Hisab Nahdlatul Ulama..., 43.
[21]Abdur Rahman ibn Muhammad Ba’lawi, Bughyatul Mustarsyidin, (Damaskus: Darul Fikr), 108.
[22]Qalyubi wa Umairah, Hasyiyatan Ala Syahril Mahali Ala Minhajit Thalibin, (Mesir, Musthafa Al-Babi Al-Halabi wa Auladuhu), 50.

0 komentar:

Posting Komentar