MAKALAH
PENENTUAN
AWAL BULAN RAMADHAN DAN IDUL FITRI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah :
MASAIL FIQHIYYAH
Dosen
:
Fuad
Masykur, S.Ag., MA
DISUSUN
OLEH :
UNI
ZAEFAH : 1516.01.023
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEMESTER IV
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM BINAMADANI
TAHUN
AKADEMIK 2016/2017
PENENTUAN
AWAL RAMADHAN DAN IDUL FITRI
A. Latar
Belakang
Penentuan awal Ramadhan merupakan
persoalan yang menarik untuk dikaji. Manakala dasar pijakan hukumnya sama,
namun dalam dataran implementasinya sering terjadi perbedaan. Di samping itu walaupun
penentuan awal ramadhan, Idul Fitri (1 syawal), dan Idul Adha (Dzulhijjah) ini
merupakan persoalan klasik. Namun, kiranya selalu muncul actual terutama
menjelang awal Ramadhan, Idul Fitri (Syawal), dan Idul Adha (Dzulhijjah). Tidak mengherankan saat
menjelang Ramadhan sering terjadi perselisihan dan perbedaan di tengah-tengah
masyarakat.
Kaum Muslim di seluruh dunia akan menjalani
salah satu rukun Islam yakni berpuasa di bulan Ramadhan. Namun, penentuan 1
Ramadhan membutuhkan perhitungan matang dan akurat. Hal itu disebabkan kalender
Islam (Qomariyah) merujuk pada perputaran bulan sedangkan perhitungan kalender masehi,
kalender yang digunakan di Indonesia merujuk pada perputaran matahari
(Syamsiyah). Sebabnya, penentuan 1 Ramadhan harus didahului dengan memastikan apakah
bulan baru telah muncul di ufuk timur atau dalam ajaran Islam disebut (hilal).[1]
Di Indonesia, terdapat dua metode
yang dipergunakan dalam penetapan awal puasa ramadhan. Metode pertama dikenal dengan
istilah rukyat. Metode ini menggunakan pandangan mata, baik tanpa alat maupun
dengan alat.[2] Metode
kedua dikenal dengan istilah hisab. Metode hisab menentukan 1 Ramadhan dengan perhitungan
matematika astronomi.
B. Pengertian
Rukyat dan Hisab
1. Rukyat
Rukyat
adalah kegiatan melihat hilal bil fi’li, yaitu melihat hilal dengan mata, baik tanpa alat maupun
alat.[3] Hal ini sebagaimana hadits-hadits perintah puasa berdasarkan rukyat.
صوموالرؤيته وافطروالرؤيته فان غمّ عليكم فاكملوا
عدّة شعبان ثلاثين (رواه البخاري)
“Berpuasalah kalian setelah melihat
(rukyat), dan berbukalah kalian karena melihat hilal. Maka jika ia tertutup
awan bagimu, maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban tiga puluh.”
(HR.Bukhari)[4]
Di
samping itu, NU juga mengutip pendapat dari Imam Muhammad Bakhith al-Muthi’i,
seorang ulama bermazhab Hanafi yang mengatakan bahwa pengertian rukyat yang
cepat dipahami adalah melihat bi al-fi’li artinya benar-benar dengan mata,
hal ini karena rukyat mudah dilakukan sehingga bisa dilakukan oleh semua orang.
Berbanding terbalik dengan hisab yang tidak dipahami oleh semua orang.[5] Adapun rukyat dilakukan pada malam
ke-30 (akhir tanggal 29), dengan didasarkan pada hadits yang di riwayatkan oleh
Ibnu Umar, dan dilakukan pada sore hari setelah terbenam Matahari, sebagaimana pendapat
Imam al-Ramli dalam kitab Nihayat al-Muhtaj dan Imam Ibnu Hajar dalam kitab
Tuhfat al-Muhtaj. Imam al-Ramli mengatakan:
وانمايجب باءكمال شعبان ثلاثين يوما اورؤية الهلال ليلة الثلاثين منه
(نهاية المحتاج)
“Wajib berpuasa hanya karena istikmal say’ban
30 hari atau rukyatul hilal pada malam ke-30nya.”[6]
Imam Ibnu
Hajar mengatakan dalam kitab Tuhfatul Muhtaj jilid III:
(اورؤية الهلال)
بعد الغروب لابواسطة نحومراة كماهوظاهرليلة الثلاثين منه (تحفة المحتاج)
“Atau
rukyatul hilal sesudah terbenam matahari tanpa perantara semacam cermin,
sebagaimana jelas, pada malam kertiga puluhnya.”[7]
Rukyat menggunakan alat diperbolehkan
asalkan alat tersebut untuk memperjelas obyek yang dilihat(عين الهلال) dan bukan
pantulan.[8]
Rukyat
bisa diterima bila dilaporkan dari perukyat yang adil, mengucapkan kalimat syahadat,
dan dalam memberi syahadat itu harus didampingi oleh dua orang saksi yang adil
pula. Ketentuan ini didasarkan pada kitab I’anatut Thalibin juz 2 hal.216.[9]
2. Hisab
Hisab
itu maksudnya “perhitungan”. Dalam pengertian yang luas ilmu hisab adalah ilmu
pengetahuan yang membahas seluk beluk perhitungan, yang di dalam bahasa inggris
disebut arithmatic.[10]
Dalam
pengertian yang sempit, ilmu hisab adalah sebutan lain dari ilmu Falak, ialah
ilmu pengetahuan yang membahas posisi dan lintasan benda-benda langit, tentang
matahari, bulan dan bumi dari segi perhitungan ruang dan waktu.[11]
Dari
tingkat akurasinya, perkembangan methode perhitungan ilmu hisab secara umum
dapat distratifikasikan dalam empat jenjang, yaitu:[12]
a)
Hisab Urfi
Metode
hisab ini menetapkan satu daur ulang (siklus) 8 tahun. Di dalam kurun waktu 8
tahun ditetapkan ada tahu kabisah (yaitu tahun ke 2, 4, dan 7) dan 5
tahunBasithah (yaitu tahun ke 1,3,5,6 dan 8). Umur bulan ditetapkan 30 hari
untuk bulan ganjil dan 29 hari untuk bulan genap.
b)
Hisab Istilahi
Metode
ini menetapkan satu daur ulang (siklus) 30 tahun. Dalam kurun waktu 30 tahun
ini ditetapkan 11 tahun Kabisah (yaitu tahun ke 2,5,7, 10,13,15,18,21,24,26 dan
29) dan 19 tahun Basithah (yaitu tahun ke 1, 3,4,6,8,9,11,16,17,19,20,22,25,28
dan 30)
c)
Hisab Haqiqi Bit
Taqrib
Metode
hisab ini menetapkan awal bulan berdasarkan perhitungan saat terjadinya ijtima’
bulan dan matahari (konjungsi) serta ketinggian (irtifa’) hilal pada saat
terbenam matahari di akhir bulan yang didasarkan peredaran rata-rata bulan,
bumi dan matahari.
d)
Hisab Haqiqi Bit
Tahqiq
Metode ini
sudah memasukkan unsure azimuth bulan, lintang tempat, kerendahan ufuk
refraksi, semidiameter bulan, parallax dan lain-lain ke dalam proses
perhitungan irtifal hilal.
C. Metode
Penentuan Awal Bulan Menggunakan Hisab dan Rukyat
a)
Metode Rukyat
Berikut adalah dasar-dasar penetapan
awal bulan, khususnya bulan Ramadan, Syawal dan Dzulhijjah yang berlaku di
kalangan NU sebagai mana tercantum dalam Keputusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
tentang Pedoman Penyelenggaraan Ru’yat bil Fi’li Nomor: 311 /A.II.04.d /I/ 1994
Pasal 1.[13]
1. Pada dasarnya Lajnah Falakiyah NU
tetap berpegang pada putusan Muktamar NU ke-27 tahun 1405 H/Tahun 1984 di
Situbondo dan Munas Alim Ulama NU di Cilacap tahun 1409 H/1987, bahwa penetapan
Awal Ramadan, Awal Syawal dan Awal Dzulhijjah wajib didasarkan atas Rukyatul Hilal
bil Fi’li atau Istikmal. Sedangkan kedudukan hisab hanyalah sebagai pembantu dalam
melakukan Rukyat.
2. Bahwa penetapan Awal Ramadan, Awal
Syawal danAwal Dzulhijjah yang berlaku umum bagi segenap lapisan kaum muslimin
di Indonesia dilakukan oleh Pemerintah (Itsbatul Hakim). Oleh sebab itu agar
diupayakan semaksimal mungkin adanya penyelenggaraan rukyat yang
disaksikanolehpetugaspemerintah (Dep. Agama).
3. Bila hal ini tidak dimungkinkan oleh
karena satu dan lain hal, maka agar supaya Itsbatul Hakim dilakukan atas dasar Hasil
Rukyat atau Istikmal, maka hasil Rukyat yang telah dilakukan di kalangan
Nahdlatul Ulama supaya sesegera mungkin dilaporkan kepada Pemerintah c/q
Departemen Agama RI untuk di itsbat. Pelaporannya bisa lewat PA (Pengadilan
Agama) setempat atau langsung kepada departemen Agama Pusat (Badan Hisab dan Rukyat).
4. Apabila Pemerintah c/q Departemen
Agama menolak untuk melakukan itsbat atau istikmal, maka hasil rukyat yang
telah dilakukan di kalangan Nahdlatul Ulama tersebut menjadi wewenang Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama /Lajnah Falakiyah untuk menginformasikan/ mengikhbarkan kepada segenap warganya di
seluruh penjuru tanah air, melalui jaringan organisasi maupun saluran informasi
yang ada.[14]
5. Dalam melaksanakan tugas penyebaran
informasi hasil-hasil rukyat kedaerah-daerah, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama/
PWNU/ PCNU/ MWC-NU menekankan perlunya ditempuh cara-cara yang bijaksana,
santun dan simpatik.
6. Rukyat bil Fi’li dengan menggunakan
alat (nazdarah) diperbolehkan baik dalam keadaan cuaca cerah maupun dalam
keadaan ghaym, kecuali bila posisi hilal berada di bawah ufuq menurut
kesepakatan (ittifaq) para ahli hisab.[15]
Untuk
kelancaran dalam standar operasional pelaksanaan rukyat ada beberapa langkah
dan tahapan yang diperlukan, yaitu sebagai berikut:[16]
1. Perlu adanya
pedoman pelaksanaan rukyat yang dikeluarkan oleh PBNU yang memuat berbagai
ketentuan teknis organisatoris maupun astronomis.
2. Sehubungan
dengan poin 1 di atas, maka beberapa persiapan teknis untuk pelaksanaan rukyat
yang perlu dilakukan adalah:
a. Menetapkan
medan rukyat yang memenuhi syarat, yaitu bebas hambatan dan terletak di lokasi
yang mengarah ke Ufuq Mar’ie di Barat. Medan rukyat terbaik menghadap ke laut.
b. Membuat
rincian tentang
arah dan kedudukan matahari serta hilal sesuai dengan hisab bulan dan disertai
Peta Proyeksi Rukyat.
c. Menentukan
kedudukan perukyat dan memasang alat bantu guna melokalisir/menta’yin jalur
tenggelamnya matahari sesuai dengan Peta Proyeksi Rukyat yang sudah ditentukan.
d. Membentuk Psko Rukyat di setiap
kepengurusan (PBNU, PWNU, PCNU, MWCNU) sebagai Pusat Komunkasi antara petugas
lapangan dengan pihak-pihak rukyat.
e. Mempersiapkan
logistic untuki mendukung penyelenggaraan rukyat
f. Menghubungi
dan mengajak Pengadilan Agama stempat untuk bersama-sama melakukan rukyat.
3. Pelaksanaan
rukyat dilakukan oleh petugas/perukyat yang memenuhi syarat-syarat ‘adalah dan
berpengalaman. Dalam pelaksanaan tersebut perukyat melakukan observasi dengan
konsentrasi penuh beberapa menit sebelum Matahari menyenuh ufuq, selama waktu
rukyat yang diperhitungkan.
4. Sebagai
tindak lanjut pelaksanaan rukyat, maka:
a. Perukyat
merumuskan hasil observasi secara lengkap dan astronomis.
b. Memberitahukan/melaporkan
hasil rukyat kepada PBNU dan pihak-pihak terkait.
c. Melaporkan
secara resmi kepada Pengadilan Agama setempat.
b) Metode Hisab
Seminar penyerasian Metode Hisab dan
Rukyat yang diselenggarakan oleh PBNU/Lajnah Falakiyah mengamanatkan pentingnya
suatu panduan untuk menuju kesatuan produk hisab resmi di lingkungan Nahdlatul
Ulama yang bisa dijadikan pedoman pengamalan hisab di lingkungan Nahdlatul
Ulama.[17]
Untuk itu diperlukan adanya suatu
metode yang standar, yang memenuhi kriteria:
a. Mempunyai nilai akurasi yang memadai.
b. Hasil perhitungannya mempunyai
tingkat perbedaan yang relatif dekat dan bisa ditioleransi.
Dalam rangka itu beberapa faktor
utama yang menyangkut data tempat, data awal, rumus penyelesaian, alat hitung
dan contoh prosedur perhitungan perlu ditetapkan sebagai berikut:[18]
1) Data Tempat
Data tempat (Lintang dan Bujur tempat) berfungsi untuk
menentukan pelaksanaan rukyat. Bila data tempat ini berbeda, maka akan berbeda
pula hasil perhitungan hisab.
2) Data Awal
Data awal ini berfungsi sebagai dasar perhitungan hisab.
Bila data awalnya berbeda, maka akan berbeda pula hasil perhitungan hisab.
3) Rumus Penyelesaian
Rumus dipakai sebagai alat untuk memecahkan masalah. Rumus
yang digunakan adalah rumus-rumus Spherical Trigonometri (Segitiga Bola) dengan
penyelesaian matematis. Rumus ini sudah umum digunakan dikalangan para ahli
astronomi dan prosedurnya lebih sederhana.
4) Alat Hitung
Untuk menyelesaikan perhitungan harus digunakan alat-alat
yang menjamin tingkat keakurasian hasil hisab, misalnya komputer atau
kalkulator yang handal.
5) Contoh Perhitungan
Contoh perhitungan hisab yang dapat digunakan sebagai
pedoman untuk penyerasian metode hisab di kalangan Nahdlatul Ulama, idealnya
harus mampu menyerasikan berbagai model perhitungan yang selama ini lazim
dipakai. Namun oleh karena hampir tidak mungkin dalam perhitungan hisab
tercapai “kesepaktan keserasian”secara penuh, maka contoh hisab ini hanya
bersumber dab merupakan penyerdehanaan dari metode/kitab “al-Khulashatul
Wafiyah bi jaudalil Lugharitmiyah” yang disusun oleh KH. Zubair Umur
al-Jailani.
D. Hak
Menentukan Awal Ramadhan dan Idul Fitri serta Idul Adha
1. Penetapan
(Itsbat) Awal Ramadhan dan Idul Fitri[19]
a) Penetapan
awal Ramadhan dan Idul Fitri dilakukan oleh pemerintah berdasarkan hasil
rukyatul hilal dan istikmal.
b) Penetapan
(Itsbat) yang tidak didasarkan atas rukyatul hilal atau istikmal tidak wajib
diikuti.
c) Hasil
rukyat yang diperoleh secara mutawatir kedudukannya sama dengan itsbat walaupun
tidak dilibatkan oleh pemerintah.
d) Rukyat
dari satu orang yang adil, baik diisyhad (sumpah) atau tidak, yang tidak
diitsbatkan wajib baginya dan bagi orang yang mempercayainya hasil rukyatnya
itu.
e) Hasil
rukyat yang tidak diitsbatkan boleh diikhbarkan (diumumkan) untuk diikuti.
2. Penetapan
Awal Idul Adha
Penetapan awal Idul Adha (Dzulhijah) dan
bulan-bulan yang lain sama dengan penetapan awal Ramadhan dan Idul Fitri, yaitu
melalui rukyat atau istikmal.[20]
Dasarnya
:
Bughyatul
Mustarsyidin :
لايثبت رمضان كغيره من الشهور الا برؤية الهلال اواكمال
العدة ثلاثين بلا فارق
“Tidak
bisa ditetapkan Ramadhan itu, seperti bulan-bulan lain, kevuali dengan ru’yatul
hilal atau menyempurnakan (istikmal) bilangan tiga puluh tanpa perbedaan.”[21]
Wilayah berlakunya penetapan awal
Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul adha adalah berlaku untuk seluruh wilayah negara
Republik Indonesia, walaupun berbeda mathla’nya.
Dasarnya
adalah:
Qalyubi
wa Umairah jilid II :
واذا رؤي
ببلدلزم حكمه البلد القريب دون البعيد في الاصح. والثاني يلزم في البعيد ايضا.
ومسافة البعيد مسافة القصر. وقيل البعداختلاف المطالع قلت هذا اصح.
“Dan
apabila terlihat hilal disuatu negari maka hukumnya wajib berlaku bagi negeri yang
dekat dan bukan yang jauh menurut pendapat yang ahah (lebih shahih). Dan pendapat
yang kedua, wajib juga bagi nenegri yang jauh. Yang dimaksud jauh adalah yang
membolehkan qashar shalat. Dikatakan bahwa jarak jauh ialah perbedaan mathla’.
Menurut pendapat saya, ini ashah.” (Al Mahalli
jilid II h.50).[22]
E. Kesimpulan
Dari
pembahasan makalah diatas dapat disimpulkan bahwa Ada dua metode untuk
menentukan awal ramadhan, idul fitri dan idul adha, yaitu metode rukyat dan
metode hisab. Rukyat adalah kegiatan melihat hilal bil fi’li, yaitu melihat
hilal dengan mata, baik tanpa alat maupun alat. Pelaksanaan rukyat dilakukan
oleh petugas/perukyat yang memenuhi syarat dan berpengalaman. Dalam pelaksanaan
tersebut perukyat melakukan observasi dengan konsentrasi penuh beberapa menit
sebelum Matahari menyentuh ufuq, selama waktu rukyat yang diperhitungkan.
Sedangkan
hisab itu maksudnya perhitungan, dalam pengertian yang lebih luas adalah ilmu
pengetahuan yang membahas seluk beluk perhitungan, yang di dalam bahasa inggris
disebut arithmatik. Dari segi akurasinya, metode hisab distratifikasikan dalam
empat jenjang, yaitu hisab urfi, hisab istilahi, hisab haqiqi bit-taqrib, dan
hisab haqiqi bit-tahqiq.
DAFTAR
PUSTAKA
Ar-Ramli, Syamsudin, Nihayatul
Muhtaj Jilid III, (Beirut, Ihyaut Turats al-Arabi).
Asy-Syarwani, Abdul Hamid, Hawasyi
Tuhfatul Muhtaj, (Mesir, Al-Maktabatut Tijariyah al-Kubra)
http://www.ppnuruliman.com/artikel/fikih-ramadhan/233-penentuan-awal-ramadhan-secara-syari.html,
diakses 1 April 2017
Ibn Muhammad Ba’lawi, Abdur Rahman,
Bughyatul Mustarsyidin, (Damaskus: Darul Fikr).
Lajnah
Falakiyah PBNU, Pedoman Rukyat dan Hisab Nahdlatul Ulama, (Jakarta:
Lajnah Falakiyah PBNU, 2006).
Qalyubi wa Umairah, Hasyiyatan
Ala Syahril Mahali Ala Minhajit Thalibin, (Mesir, Musthafa Al-Babi
Al-Halabi wa Auladuhu).
[2]Lajnah Falakiyah PBNU, Pedoman Rukyat dan Hisab Nahdlatul
Ulama, (Jakarta: Lajnah Falakiyah PBNU, 2006), 2.
[6]Syamsudin Ar-Ramli, Nihayatul
Muhtaj Jilid III, (Beirut, Ihyaut Turats al-Arabi), 147.
[7]Abdul Hamid Asy-Syarwani,
Hawasyi Tuhfatul Muhtaj, (Mesir, Al-Maktabatut Tijariyah al-Kubra), 372.
[9]Lajnah Falakiyah PBNU, Pedoman Rukyatdan
Hisab Nahdlatul Ulama..., 30.
[17]Lajnah Falakiyah PBNU, Pedoman
Rukyat dan Hisab Nahdlatul Ulama...,
55.
[18]Lajnah Falakiyah PBNU, Pedoman
Rukyat dan Hisab Nahdlatul Ulama...,
55-57.
[21]Abdur Rahman ibn Muhammad
Ba’lawi, Bughyatul Mustarsyidin, (Damaskus: Darul Fikr), 108.
[22]Qalyubi wa Umairah, Hasyiyatan
Ala Syahril Mahali Ala Minhajit Thalibin, (Mesir, Musthafa Al-Babi
Al-Halabi wa Auladuhu), 50.
0 komentar:
Posting Komentar