Get me outta here!

Jumat, 14 April 2017

MUHAMMAD ABDUH DAN MODERNISME



MUHAMMAD ABDUH DAN MODERNISME
oleh : Uni Zaefah
 
A.    Latar Belakang
Modernisasi dalam bidang pendidikan adalah bagian terpenting dari modernisasi sosial, ekonomi, dan politik.[1] Hal tersebut bermakna bahwa untuk membangun dan membina masyarakat modern, maka pendidikan adalah bagian yang sangat penting sebagai media tranformasi nilai dan budaya maupun pengetahuan. Pendidikan akan mendorong berkembangnya kecerdasan dan produk budaya masyarakat. Melalui pendidikan pula, muncul banyak pembaharuan di berbagai aspek kehidupan.
Asumsi adanya hubungan yang signifikan antara pembaharuan dengan pendidikan yaitu sebagaimana pendapat Syafi’i Ma’arif, bahwa salah satu fungsi pendidikan adalah membebaskan masyarakat dari belenggu keterbelakangan.[2] Hal itu mengindikasikan bahwa untuk mengadakan ijtihad, perubahan, atau pembaharuan dalam masyarakat adalah pendidikan.
Bentuk  ijtihad, pembaharuan, serta modernisasi pendidikan dalam makalah ini mengacu pada pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh. Dia merupakan sosok yang gigih dalam mengembangkan gerakan pembaharuan Islam melalui gerakan intelektual. Pemikirannya meninggalkan pengaruh yang luas, tidak hanya di tanah airnya Mesir dan dunia Arab lainnya di Timur Tengah, tetapi juga di dunia Islam lainnya  termasuk di Indonesia. Biasanya disebutkan bahwa pembaharuan dalam Islam di Indonesia timbul atas pengaruhnya Muhammad Abduh,  melalui artikel-artikel yang dimuat Al Urwa Al Wusqa di Paris dan Majalah Al Manar di Kairo, serta pemikiran-pemikirannya yang terkandung dalam Tafsir Al Manar dan Risalah At Tauhid.[3] Pemikiran-pemikirannya layak untuk terus dikaji dan dipelajari. Persoalan yang kita kaji dan pelajari bukan hanya pada persoalan kelembagaan pendidikan, tetapi juga sikap mental yang dipengaruhi oleh budaya serta tata nilai dari sebuah masyarakat.

B.     Biografi Muhammad Abduh
Muhammad Abduh adalah kawan dan murid setia Jamaluddin al-Afghani. Ide-ide jamaluddin banyak yang ditransfer dan dikembangkan oleh Abduh. Nama lengkap Muhammad Abduh adalah Syaikh Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Ia lahir di Mahallat Nashr (terletak di Kabupaten Al-Buhairah, Mesir) pada tahun 1849 M dan wafat pada 11 Juli 1905. Ayahnya, Abduh bin Hasan Khairullah, mempunyai silsilah keturunan dengan bangsa Turki. Sedangkan ibunya, mempunyai silsilah keturunan dengan tokoh besar Islam, Umar bin Khattab.[4]
Kedua keluarga orang tua Abduh sudah lama tinggal di desa dekat Tanta’, tetapi pada akhir masa kekuasaan Muhammad Ali Pasha mereka terpaksa pindah karena dibebani banyak pajak yang tinggi oleh pegawai-pegawai Muhammad Ali. Selama beberapa waktu, orangtua Abduh hidup tidak menentu di tengah kesulitan. Abduh sendiri lahir dalam suasana demikian, meskipun keluarga itu kemudian kembali ke desanya.
Pendidikan dasar Abduh ditangani langsung oleh ayahnya yang mengajarkan membaca, menulis serta ilmu-ilmu keislaman. Selanjutnya ia belajar menghafal Al-Qur’an di bawah bimbingan seorang hafiz. Selama dua tahun, Abduh berhasil menghafal Al-Qur’an dengan sempurna. Selanjutnya dalam usia lima belas tahun ia dikirim ayahnya ke Madrasah al-Ahmadi di Thantha untuk belajar ilmu agama. Namun metode yang dikembangkan disini sangat membosankan Abduh. Ia merasa tidak memperoleh apa-apa dari madrasah ini dam meninggalkan Thantha untuk pulang kampung.
Pada usis 16 tahun, Abduh dinikahkan oleh orangtuanya. Namun demikian, ayahnya tetap mengharapkannya melanjutkan pelajaran dan mengirimnya kembali ke Thantha.[5] Abduh tidak bisa menolak kemauan ayahnya. Akan tetpi, ia tidak berangkat ke Thantha, karena sudah tidak semangat melihat belajar yang membosankannya. Akhirnya ia berangkat ke sebuah desa bernama Kanish Urin, tempat tinggal keluarga ayahnya. Di sini ia bertemu dengan Syekh Darwisy, beliaulah yang mengubah hidupnya dari seorang yang frustasi pada sekolah menjadi seorang yang haus ilmu. Stelah mendapat “sentuhan” dari Syekh Darwisy, ia akhirnya kembali ke Thantha untuk meneruskan pelajaran.
Setelah selesai menuntut ilmu di Thantha, barulah ia masuk Unversitas al-Azhar, Kairo pada tahun 1866 M. Ketika kuliah di al-Azhar, Sayyid Jamaliddin datang ke Mesir dalam perjalanannya menuju Istanbul. Kesempatan ini digunakan Abduh untuk berdiskusi dan menimba ilmu pengetahuan dari tokoh pemersatu umat ini. Pada tahun 1871 Jamaluddin datang kembali ke Mesir, Abduh tidak menyi-nyiakan kesempatan untuk menjadi murid setianya. Ia belajar filsafat pada Jamaluddin, di samping mulai menulis karangan-karangan untuk surat kabar al-Ahram, sebuah harian yang baru saja terbit kala itu.[6]
Abduh menyelesaikan studinya di al-Azhar pada 1877. Selanjutnya ia mengembangkan ilmunya dengan mengajar di Dar al ‘Ulum, di samping juga mengajar di rumahnya sendiri. Di rumahnya, ia mengajarkan buku tentang akhlak berjudul Tahdzib al-Akhlaq karangan Ibn Miskawaih, Muqaddimah karangan Ibn Khaldun dan History of Civilization in Europe yang sudah diterjemahkan oleh al-Thahtawi.[7]
Selain mengajar, Abduh juga terlibat aktif dalam gerakan politik. Ia membantu Jamaluddin dalam menentang penguasa, Khadewi taufiq. Akibatnya, Abduh dibuang keluar Kairo setelah sebelumnya pada 1879 Jamaluddin diusir dari Mesir. Namun setahun kemudian, Abduh diizinkan kembali ke kairo dan diangkat menjadi redaktur untuk surat kabar al-Waqa’I al-Mishriyah. Di bawah pimpinan Muhammad Abduh, surat kabar mengalami kemajuan, karena banyak memuat berita tentang pentingnya nasionalisme.
Setelah beberapa lama Muhammad Abduh pergi ke Paris memenuhi undangan Jamaluddin al-Afghani. Di Paris mereka menggerakkan umat Islam dunia dengan membentuk organisasi al-‘Urwah al-Wutsqa’ (Tali yang Kukuh), yang bertujuan menyatukan umat Islam, melepaskan mereka dari perpecahan dan cengkraman bangsa-bangsa Barat. Organisasi ini juga menerbitkan jurnal yang menggerakkan umat Islam.
Muhammad Abduh ternyata masih memiliki peluang yang cukup besar untuk menjadi seorang motivasi bagi perkembangan dunia pendidikan. Dan pada tahun 1894 M, Muhammad Abduh diberi kepercayaan untuk menjadi salah seorang anggota Majlis A’la universitas Al-Azhar, Mesir. Ketika itulah iapun melakukan berbagai perubahan dalam Al-Azhar. Kemudian pada tahun 1899 M, Muhammad Abduh menduduiki jabatan sebagai seorang mufti Mesir. Jabatan ini dipegangnya hingga ia meninggal yakni pada tahun 1905 M.[8]

C.    Pemikiran Muhammad Abduh Tentang Taklid dan Ijtihad
Muhammad Abduh berpendapat bahwa keterbelakangan dan kemunduran umat Islam disebabkan oleh pendangan dan sikap jumud (beku, statis), sehingga  tidak mau berpikir dinamis menuju kemajuan. Sikap dan pandangan seperti ini menyebabkan umat islam tidak mau menerima perubahan. Selain itu, sikap jumud ini dalam pandangan Muhammad Abduh sebagai sesuatu yang bertantangan dengan ajaran Islam seperti kepatuhan yang sangat dalam kepada ulama, pemujaan berlebihan terhadap syaikh dan paham taklid buta kepada ulama. Dari fenomena inilah Muhammad Abduh ingin menghilangkan tradisi yang ada dimasyarakat, yakni lansung kembali keajaran islam yang murni yaitu Al-Qur’an dan hadits.
Melihat keadaan masyarakat disekitarnya, Muhammad Abduh sangat tidak menyukai taklid. Orang yang melakukan taklid, menurut Muhammad Abduh memiliki derajat yang sangat rendah, karena hanya melihat lahir perbuatan orang yang diikutinya, tanpa memeriksa dasar dan pribadi orang yang diikutinya. Hal ini membuat perbuatan taklid menjadi tanpa dasar.
Mereka harus harus melakukan interprestasi ulang terhadap pendapat-pendapat ulama masa lalu yang mungkin tidak lagi sejalan dengan masa yang sekarang. Pendapat ulama tidaklah mutlak benar dan mengikat. Menurut Abduh, ajaran Islam terbagi dua, yaitu masalah ibadah dan masalah muamalah  (sosial kemasyarakatan). Al-Qu’an dan hadits telah menetapkan aturan jelas mengenai ibadah. Sedangkan ajaran islam mengenai hidup kemasyarakatan merupakan ajaran-ajaran dasar dan prinsip umum yang dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman. Pintu ijtihad harus dibuka seluas-luasnya terhadap masalah ini dan taklid yang menjadi sumber kemunduran umat Islam harus diperangi.
Pendapat Muhammad Abduh tentang tentang perlunya ijtihad dan  pemberantasan taklid, didasari dengan kepercayaannya kepada akal. Karena menurutnya akal bisa membedakan yang baik dan yang buruk, antara yang bermanfaat dengan yang tidak bermanfaat.[9]
Meskipun demikian Muhammad Abduh tetap mengakui keterbatasan akal dari manusia. Menurutnya selain akal juga diperlukan wahyu. Sebab, tanpa wahyu akal tidak mampu membawa manusia mencapai kebahagiaan.

D.    Pemikiran Muhammad Abduh Tentang Modernisasi Pendidikan Islam
Pada masa Abduh, Dunia Islam mengalami penjajahan dan kolonialisasi oleh Negara-negara Barat. Menurut Abduh, kehadiran bangsa-bangsa Barat tidak hanya menguasai Dunia Islam, tetapi juga mengembangkan sistem nilai mereka, seperti dalam bidang sosial, politik, pendidikan, budaya dan hukum,terhadap umat Islam.
Muhammad Abduh sangat prihatin dengan kemunduran dan masalah yang dihadapi oleh umat Islam, Muhammad abduh berkeyakinan bahwa cara yang terbaik untuk mengadakan pembaharuan dan meningkatkan kehidupan umat Islam adalah melalui pendidikan yang dapat merubah kearah yang lebih baik.
Dalam pengamatan Muhammad Abduh, di Mesir sendiri terdapat dualisme pendididkan antara pendidikan tradisionalis agama dan pendidikan modern Barat. Di satu sisi, terdapat madrasah-madrasah yang memberikan pendidikan agama tanpa memasukkan kurikulum pendidikan umum. Di sisi lain, terdapat sekolah-sekolah umum yang dikelola pemerintah yang tidak memberikan pendidikan agama bagi murid-muridnya. Sehingga, membuat dua sistem pendidikan yang berbeda dan sulit untuk dipertemukan.[10]
Abduh memandang dualisme sistem pendidikan yang ada di mesir itu tidak baik bagi bagi umat islam. Karena akan melahirkan dua kubu yang saling merasa unggul. Karena sistem madrasah yang lama melahirkan ulama yang kurang pengetehuannya di ilmu modern. Sedangkan sekolah umum pengetehuan agamanya sedikit. Maka dari itu perlu dimasukan kurikulum pengetahuan umum ke madrasah.

E.     Pemikiran Muhammad Abduh Tentang Pemerintahan
Selain menggalakkan  berpikir kritis dan pengembangan ijtihad, Abduh menandang perlunya perubahan pemerintahan dari otoriter dan tidak dibatasi oleh peraturan perundang-undangan kepada pemerintahan yang konstitusional. Untuk itu, Abduh menekankan perlunya lembaga perwakilan untuk mengontrol kekuasaan. Namun Abduh tidak sependapat dengan gurunya Jamaluddin yang menghendaki revolusi untuk membentuk dewan perwakilan tersebut. Ia menginginkan  cara-cara evolusioner untuk mewujudkannya, karena situasi dan kondisi masyarakat Mesir masih belum mendukung untuk itu. Karena itu, yang pertama kali harus dilakukan, menurut Abduh, adalah melakukan proses pencerdasan bagi masyarakat sehingga mereka mengerti hak dan kewajiban mereka sebagi warga Negara. Proses realisasi gagasan pembentukan dewan perwakilan sebaiknya dilakukan secara bertahap. Setidaknya, diperlukan waktu sekitar lima belas tahun untuk melatih rakyat untuk mengerti dan memanfaatkan hak-hak politik mereka serta bertanggung jawab.[11]
Abduh sangat menolak umat Islam yang mencoba mencari sistem hukum yang tidak sejalan dengan tradisi budaya dan masyarakatnya. Dalam hal ini, Abduh menolak adopsi sistem hukum Barat untuk umat Islam. Menurut Abduh, hukum yang akan dijalankan untuk masyarakat haruslah sesuai dengan kepribadian masyarakat itu sendiri. Hukum barat hanya sesuai dengan kepribadian dan identitas masyarakat Barat yang sangat menjunjung tinggi semangat liberalisme. Kalau ini diterapkan untuk masyarakat muslim, maka mereka akan kehilangan identitasnya sebagai masyarakat yang religius. Ini akan membuat masyarakat muslim mengalami keterpecahan.
Sejalan dengan pandangan Abduh tentang pembatasan kekuasaan kepala Negara, ia menolak adanya kekuasaan keagamaan. Baginya, Islam tidak memberikan kekuasaan kepada seseorang atau suatu kelompok orang untuk menindak orang lain atas dasar mandat agama atau dari Tuhan. Islam tidak membenarkan campur tangan orang lain, sekalipun penguasa, dalam urusan kehidupan keagaamaan orang lain. Islam juga tidak mengakui hak seseorang untuk memaksakan pendapat dan penafsirannya tentang agama kepada orang lain. Bagi Abduh, pemimpin Negara adalah penguasa sipil yang diangkat dan diberhentikan oleh masyarakatnya sendiri melalui mekanisme tertentu. Karenanya, Abduh menolak paham penguasa sebagai Zhill Allah fi al-ardh (Bayang-bayang Allah di muka Bumi), sebagaimana pandangan pemikir muslim pada abad klasik dan pertengahan.
Bagi Abduh, kepala Negara adalah penguasa sipil yang diangkat dan diberhentikan oleh rakyat, bukan oleh Tuhan. Abduh menerima ide-ide Barat tentang demokrasi yang menyatakan bahwa kekuasaan pada dasarnya adalah milik rakyat dan penguasa hanya menjalankan amanah yang diberikan rakyat kepadanya. Karena itu, Abduh menegaskan bahwa rakyat boleh menggulingkan penguasa bila ia bertindak despotik dan tidak adil, serta kesejahteraan rakyat menuntut hal ini.  
Pandangan Abduh tentang hubungan agama dan politik dituangkanya dalam program partai Nasional Mesir yang dirumuskannya. Dalam rumusan tersebut dinyatakan bahwa partai Nasional adalah partai politik, bukan partai agama, yang keanggotaannya yang terdiri atas orang-orang dari berbagai kepercayaan dan mazhab, termasuk orang Kristen dan Yahudi, serta semua yang bercocok tanam di Bumi Mesir dan berbicara bahasa Mesir, karena partai ini tidak melihat perbedaan keyakinan. Partai didasarkan atas kesadaran bahwa semua orang Mesir itu saudara satu sama lain, dan hak-hak mereka dalam politik dan muka hukum itu sama.[12]

F.     Kesimpulan
Muhammad Abduh adalah seorang pembaharu. Pemikirannya muncul atas situasi dan tuntutan sosial yang mengharuskannya melakukan pembaharuan. Ketika orang lain tidak melakukan hal yang sama dan bahkan sering menentang pembaharuan yang dilakukannya, memang itulah watak setiap modernis. Modernis adalah orang yang paling cepat tanggap  merespon perkembangan yang terjadi dan sekaligus paling cepat diresponi oleh masyarakat sekitarnya. 
Meskipun seorang modernis, Abduh juga seorang yang mempertahankan warisan klasik yang masih relevan digunakan. Muhammad Abduh adalah seorang pembaharu yang mengajak kepada perbaikan yang tidak hanya dalam tataran teoritis dengan jalan mengarang, seminar-seminar, mempresentasikan makalahnya saja tetapi ia bersaha membawa pikiran pemikiran pembaharuannya kepada amal perbuatan dan tenggelam dalam kehidupan nyata agar dapat melangsungkan rencana pembaharuannya.





DAFTAR PUSTAKA
Asmuni, Yusran, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Islam: Dirasah Islamiah III, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998).
Ma’arif, Syafi’i, Peta Intelektual Muslim Indonesia, (Bandung: Mizan, 1994).
Mulkhan, Abdul Munir, Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan dan Dakwah. (Yogyakarta: SI Press, 1992).
Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam, (Semarang : PT Karya Toha Putra, 2004).
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 19975).
Nasution, Harun, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: UI-Press, 1987).
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI Press, 2008).



[1]Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan dan Dakwah. (Yogyakarta: SI Press,1992), 123.
[2]Syafi’i Ma’arif, Peta Intelektual Muslim Indonesia, (Bandung: Mizan, 1994), 40.
[3]Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: UI-Press, 1987), 1.

[4]Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Islam: Dirasah Islamiah III, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), 78.

[5]Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, 11.
[6]Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 19975), 10.
[7]Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam, (Semarang : PT Karya Toha Putra, 2004), 123.
[8]Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam…, 124.
[9]Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam…, 132.

[10]Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam…, 125.
[11]Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI Press, 2008), 129-130.
[12]Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara…, 131.

0 komentar:

Posting Komentar