Get me outta here!

Jumat, 14 April 2017

MUHAMMAD ABDUH DAN MODERNISME



MUHAMMAD ABDUH DAN MODERNISME
oleh : Uni Zaefah
 
A.    Latar Belakang
Modernisasi dalam bidang pendidikan adalah bagian terpenting dari modernisasi sosial, ekonomi, dan politik.[1] Hal tersebut bermakna bahwa untuk membangun dan membina masyarakat modern, maka pendidikan adalah bagian yang sangat penting sebagai media tranformasi nilai dan budaya maupun pengetahuan. Pendidikan akan mendorong berkembangnya kecerdasan dan produk budaya masyarakat. Melalui pendidikan pula, muncul banyak pembaharuan di berbagai aspek kehidupan.
Asumsi adanya hubungan yang signifikan antara pembaharuan dengan pendidikan yaitu sebagaimana pendapat Syafi’i Ma’arif, bahwa salah satu fungsi pendidikan adalah membebaskan masyarakat dari belenggu keterbelakangan.[2] Hal itu mengindikasikan bahwa untuk mengadakan ijtihad, perubahan, atau pembaharuan dalam masyarakat adalah pendidikan.
Bentuk  ijtihad, pembaharuan, serta modernisasi pendidikan dalam makalah ini mengacu pada pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh. Dia merupakan sosok yang gigih dalam mengembangkan gerakan pembaharuan Islam melalui gerakan intelektual. Pemikirannya meninggalkan pengaruh yang luas, tidak hanya di tanah airnya Mesir dan dunia Arab lainnya di Timur Tengah, tetapi juga di dunia Islam lainnya  termasuk di Indonesia. Biasanya disebutkan bahwa pembaharuan dalam Islam di Indonesia timbul atas pengaruhnya Muhammad Abduh,  melalui artikel-artikel yang dimuat Al Urwa Al Wusqa di Paris dan Majalah Al Manar di Kairo, serta pemikiran-pemikirannya yang terkandung dalam Tafsir Al Manar dan Risalah At Tauhid.[3] Pemikiran-pemikirannya layak untuk terus dikaji dan dipelajari. Persoalan yang kita kaji dan pelajari bukan hanya pada persoalan kelembagaan pendidikan, tetapi juga sikap mental yang dipengaruhi oleh budaya serta tata nilai dari sebuah masyarakat.

B.     Biografi Muhammad Abduh
Muhammad Abduh adalah kawan dan murid setia Jamaluddin al-Afghani. Ide-ide jamaluddin banyak yang ditransfer dan dikembangkan oleh Abduh. Nama lengkap Muhammad Abduh adalah Syaikh Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Ia lahir di Mahallat Nashr (terletak di Kabupaten Al-Buhairah, Mesir) pada tahun 1849 M dan wafat pada 11 Juli 1905. Ayahnya, Abduh bin Hasan Khairullah, mempunyai silsilah keturunan dengan bangsa Turki. Sedangkan ibunya, mempunyai silsilah keturunan dengan tokoh besar Islam, Umar bin Khattab.[4]
Kedua keluarga orang tua Abduh sudah lama tinggal di desa dekat Tanta’, tetapi pada akhir masa kekuasaan Muhammad Ali Pasha mereka terpaksa pindah karena dibebani banyak pajak yang tinggi oleh pegawai-pegawai Muhammad Ali. Selama beberapa waktu, orangtua Abduh hidup tidak menentu di tengah kesulitan. Abduh sendiri lahir dalam suasana demikian, meskipun keluarga itu kemudian kembali ke desanya.
Pendidikan dasar Abduh ditangani langsung oleh ayahnya yang mengajarkan membaca, menulis serta ilmu-ilmu keislaman. Selanjutnya ia belajar menghafal Al-Qur’an di bawah bimbingan seorang hafiz. Selama dua tahun, Abduh berhasil menghafal Al-Qur’an dengan sempurna. Selanjutnya dalam usia lima belas tahun ia dikirim ayahnya ke Madrasah al-Ahmadi di Thantha untuk belajar ilmu agama. Namun metode yang dikembangkan disini sangat membosankan Abduh. Ia merasa tidak memperoleh apa-apa dari madrasah ini dam meninggalkan Thantha untuk pulang kampung.
Pada usis 16 tahun, Abduh dinikahkan oleh orangtuanya. Namun demikian, ayahnya tetap mengharapkannya melanjutkan pelajaran dan mengirimnya kembali ke Thantha.[5] Abduh tidak bisa menolak kemauan ayahnya. Akan tetpi, ia tidak berangkat ke Thantha, karena sudah tidak semangat melihat belajar yang membosankannya. Akhirnya ia berangkat ke sebuah desa bernama Kanish Urin, tempat tinggal keluarga ayahnya. Di sini ia bertemu dengan Syekh Darwisy, beliaulah yang mengubah hidupnya dari seorang yang frustasi pada sekolah menjadi seorang yang haus ilmu. Stelah mendapat “sentuhan” dari Syekh Darwisy, ia akhirnya kembali ke Thantha untuk meneruskan pelajaran.
Setelah selesai menuntut ilmu di Thantha, barulah ia masuk Unversitas al-Azhar, Kairo pada tahun 1866 M. Ketika kuliah di al-Azhar, Sayyid Jamaliddin datang ke Mesir dalam perjalanannya menuju Istanbul. Kesempatan ini digunakan Abduh untuk berdiskusi dan menimba ilmu pengetahuan dari tokoh pemersatu umat ini. Pada tahun 1871 Jamaluddin datang kembali ke Mesir, Abduh tidak menyi-nyiakan kesempatan untuk menjadi murid setianya. Ia belajar filsafat pada Jamaluddin, di samping mulai menulis karangan-karangan untuk surat kabar al-Ahram, sebuah harian yang baru saja terbit kala itu.[6]
Abduh menyelesaikan studinya di al-Azhar pada 1877. Selanjutnya ia mengembangkan ilmunya dengan mengajar di Dar al ‘Ulum, di samping juga mengajar di rumahnya sendiri. Di rumahnya, ia mengajarkan buku tentang akhlak berjudul Tahdzib al-Akhlaq karangan Ibn Miskawaih, Muqaddimah karangan Ibn Khaldun dan History of Civilization in Europe yang sudah diterjemahkan oleh al-Thahtawi.[7]
Selain mengajar, Abduh juga terlibat aktif dalam gerakan politik. Ia membantu Jamaluddin dalam menentang penguasa, Khadewi taufiq. Akibatnya, Abduh dibuang keluar Kairo setelah sebelumnya pada 1879 Jamaluddin diusir dari Mesir. Namun setahun kemudian, Abduh diizinkan kembali ke kairo dan diangkat menjadi redaktur untuk surat kabar al-Waqa’I al-Mishriyah. Di bawah pimpinan Muhammad Abduh, surat kabar mengalami kemajuan, karena banyak memuat berita tentang pentingnya nasionalisme.
Setelah beberapa lama Muhammad Abduh pergi ke Paris memenuhi undangan Jamaluddin al-Afghani. Di Paris mereka menggerakkan umat Islam dunia dengan membentuk organisasi al-‘Urwah al-Wutsqa’ (Tali yang Kukuh), yang bertujuan menyatukan umat Islam, melepaskan mereka dari perpecahan dan cengkraman bangsa-bangsa Barat. Organisasi ini juga menerbitkan jurnal yang menggerakkan umat Islam.
Muhammad Abduh ternyata masih memiliki peluang yang cukup besar untuk menjadi seorang motivasi bagi perkembangan dunia pendidikan. Dan pada tahun 1894 M, Muhammad Abduh diberi kepercayaan untuk menjadi salah seorang anggota Majlis A’la universitas Al-Azhar, Mesir. Ketika itulah iapun melakukan berbagai perubahan dalam Al-Azhar. Kemudian pada tahun 1899 M, Muhammad Abduh menduduiki jabatan sebagai seorang mufti Mesir. Jabatan ini dipegangnya hingga ia meninggal yakni pada tahun 1905 M.[8]

C.    Pemikiran Muhammad Abduh Tentang Taklid dan Ijtihad
Muhammad Abduh berpendapat bahwa keterbelakangan dan kemunduran umat Islam disebabkan oleh pendangan dan sikap jumud (beku, statis), sehingga  tidak mau berpikir dinamis menuju kemajuan. Sikap dan pandangan seperti ini menyebabkan umat islam tidak mau menerima perubahan. Selain itu, sikap jumud ini dalam pandangan Muhammad Abduh sebagai sesuatu yang bertantangan dengan ajaran Islam seperti kepatuhan yang sangat dalam kepada ulama, pemujaan berlebihan terhadap syaikh dan paham taklid buta kepada ulama. Dari fenomena inilah Muhammad Abduh ingin menghilangkan tradisi yang ada dimasyarakat, yakni lansung kembali keajaran islam yang murni yaitu Al-Qur’an dan hadits.
Melihat keadaan masyarakat disekitarnya, Muhammad Abduh sangat tidak menyukai taklid. Orang yang melakukan taklid, menurut Muhammad Abduh memiliki derajat yang sangat rendah, karena hanya melihat lahir perbuatan orang yang diikutinya, tanpa memeriksa dasar dan pribadi orang yang diikutinya. Hal ini membuat perbuatan taklid menjadi tanpa dasar.
Mereka harus harus melakukan interprestasi ulang terhadap pendapat-pendapat ulama masa lalu yang mungkin tidak lagi sejalan dengan masa yang sekarang. Pendapat ulama tidaklah mutlak benar dan mengikat. Menurut Abduh, ajaran Islam terbagi dua, yaitu masalah ibadah dan masalah muamalah  (sosial kemasyarakatan). Al-Qu’an dan hadits telah menetapkan aturan jelas mengenai ibadah. Sedangkan ajaran islam mengenai hidup kemasyarakatan merupakan ajaran-ajaran dasar dan prinsip umum yang dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman. Pintu ijtihad harus dibuka seluas-luasnya terhadap masalah ini dan taklid yang menjadi sumber kemunduran umat Islam harus diperangi.
Pendapat Muhammad Abduh tentang tentang perlunya ijtihad dan  pemberantasan taklid, didasari dengan kepercayaannya kepada akal. Karena menurutnya akal bisa membedakan yang baik dan yang buruk, antara yang bermanfaat dengan yang tidak bermanfaat.[9]
Meskipun demikian Muhammad Abduh tetap mengakui keterbatasan akal dari manusia. Menurutnya selain akal juga diperlukan wahyu. Sebab, tanpa wahyu akal tidak mampu membawa manusia mencapai kebahagiaan.

D.    Pemikiran Muhammad Abduh Tentang Modernisasi Pendidikan Islam
Pada masa Abduh, Dunia Islam mengalami penjajahan dan kolonialisasi oleh Negara-negara Barat. Menurut Abduh, kehadiran bangsa-bangsa Barat tidak hanya menguasai Dunia Islam, tetapi juga mengembangkan sistem nilai mereka, seperti dalam bidang sosial, politik, pendidikan, budaya dan hukum,terhadap umat Islam.
Muhammad Abduh sangat prihatin dengan kemunduran dan masalah yang dihadapi oleh umat Islam, Muhammad abduh berkeyakinan bahwa cara yang terbaik untuk mengadakan pembaharuan dan meningkatkan kehidupan umat Islam adalah melalui pendidikan yang dapat merubah kearah yang lebih baik.
Dalam pengamatan Muhammad Abduh, di Mesir sendiri terdapat dualisme pendididkan antara pendidikan tradisionalis agama dan pendidikan modern Barat. Di satu sisi, terdapat madrasah-madrasah yang memberikan pendidikan agama tanpa memasukkan kurikulum pendidikan umum. Di sisi lain, terdapat sekolah-sekolah umum yang dikelola pemerintah yang tidak memberikan pendidikan agama bagi murid-muridnya. Sehingga, membuat dua sistem pendidikan yang berbeda dan sulit untuk dipertemukan.[10]
Abduh memandang dualisme sistem pendidikan yang ada di mesir itu tidak baik bagi bagi umat islam. Karena akan melahirkan dua kubu yang saling merasa unggul. Karena sistem madrasah yang lama melahirkan ulama yang kurang pengetehuannya di ilmu modern. Sedangkan sekolah umum pengetehuan agamanya sedikit. Maka dari itu perlu dimasukan kurikulum pengetahuan umum ke madrasah.

E.     Pemikiran Muhammad Abduh Tentang Pemerintahan
Selain menggalakkan  berpikir kritis dan pengembangan ijtihad, Abduh menandang perlunya perubahan pemerintahan dari otoriter dan tidak dibatasi oleh peraturan perundang-undangan kepada pemerintahan yang konstitusional. Untuk itu, Abduh menekankan perlunya lembaga perwakilan untuk mengontrol kekuasaan. Namun Abduh tidak sependapat dengan gurunya Jamaluddin yang menghendaki revolusi untuk membentuk dewan perwakilan tersebut. Ia menginginkan  cara-cara evolusioner untuk mewujudkannya, karena situasi dan kondisi masyarakat Mesir masih belum mendukung untuk itu. Karena itu, yang pertama kali harus dilakukan, menurut Abduh, adalah melakukan proses pencerdasan bagi masyarakat sehingga mereka mengerti hak dan kewajiban mereka sebagi warga Negara. Proses realisasi gagasan pembentukan dewan perwakilan sebaiknya dilakukan secara bertahap. Setidaknya, diperlukan waktu sekitar lima belas tahun untuk melatih rakyat untuk mengerti dan memanfaatkan hak-hak politik mereka serta bertanggung jawab.[11]
Abduh sangat menolak umat Islam yang mencoba mencari sistem hukum yang tidak sejalan dengan tradisi budaya dan masyarakatnya. Dalam hal ini, Abduh menolak adopsi sistem hukum Barat untuk umat Islam. Menurut Abduh, hukum yang akan dijalankan untuk masyarakat haruslah sesuai dengan kepribadian masyarakat itu sendiri. Hukum barat hanya sesuai dengan kepribadian dan identitas masyarakat Barat yang sangat menjunjung tinggi semangat liberalisme. Kalau ini diterapkan untuk masyarakat muslim, maka mereka akan kehilangan identitasnya sebagai masyarakat yang religius. Ini akan membuat masyarakat muslim mengalami keterpecahan.
Sejalan dengan pandangan Abduh tentang pembatasan kekuasaan kepala Negara, ia menolak adanya kekuasaan keagamaan. Baginya, Islam tidak memberikan kekuasaan kepada seseorang atau suatu kelompok orang untuk menindak orang lain atas dasar mandat agama atau dari Tuhan. Islam tidak membenarkan campur tangan orang lain, sekalipun penguasa, dalam urusan kehidupan keagaamaan orang lain. Islam juga tidak mengakui hak seseorang untuk memaksakan pendapat dan penafsirannya tentang agama kepada orang lain. Bagi Abduh, pemimpin Negara adalah penguasa sipil yang diangkat dan diberhentikan oleh masyarakatnya sendiri melalui mekanisme tertentu. Karenanya, Abduh menolak paham penguasa sebagai Zhill Allah fi al-ardh (Bayang-bayang Allah di muka Bumi), sebagaimana pandangan pemikir muslim pada abad klasik dan pertengahan.
Bagi Abduh, kepala Negara adalah penguasa sipil yang diangkat dan diberhentikan oleh rakyat, bukan oleh Tuhan. Abduh menerima ide-ide Barat tentang demokrasi yang menyatakan bahwa kekuasaan pada dasarnya adalah milik rakyat dan penguasa hanya menjalankan amanah yang diberikan rakyat kepadanya. Karena itu, Abduh menegaskan bahwa rakyat boleh menggulingkan penguasa bila ia bertindak despotik dan tidak adil, serta kesejahteraan rakyat menuntut hal ini.  
Pandangan Abduh tentang hubungan agama dan politik dituangkanya dalam program partai Nasional Mesir yang dirumuskannya. Dalam rumusan tersebut dinyatakan bahwa partai Nasional adalah partai politik, bukan partai agama, yang keanggotaannya yang terdiri atas orang-orang dari berbagai kepercayaan dan mazhab, termasuk orang Kristen dan Yahudi, serta semua yang bercocok tanam di Bumi Mesir dan berbicara bahasa Mesir, karena partai ini tidak melihat perbedaan keyakinan. Partai didasarkan atas kesadaran bahwa semua orang Mesir itu saudara satu sama lain, dan hak-hak mereka dalam politik dan muka hukum itu sama.[12]

F.     Kesimpulan
Muhammad Abduh adalah seorang pembaharu. Pemikirannya muncul atas situasi dan tuntutan sosial yang mengharuskannya melakukan pembaharuan. Ketika orang lain tidak melakukan hal yang sama dan bahkan sering menentang pembaharuan yang dilakukannya, memang itulah watak setiap modernis. Modernis adalah orang yang paling cepat tanggap  merespon perkembangan yang terjadi dan sekaligus paling cepat diresponi oleh masyarakat sekitarnya. 
Meskipun seorang modernis, Abduh juga seorang yang mempertahankan warisan klasik yang masih relevan digunakan. Muhammad Abduh adalah seorang pembaharu yang mengajak kepada perbaikan yang tidak hanya dalam tataran teoritis dengan jalan mengarang, seminar-seminar, mempresentasikan makalahnya saja tetapi ia bersaha membawa pikiran pemikiran pembaharuannya kepada amal perbuatan dan tenggelam dalam kehidupan nyata agar dapat melangsungkan rencana pembaharuannya.





DAFTAR PUSTAKA
Asmuni, Yusran, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Islam: Dirasah Islamiah III, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998).
Ma’arif, Syafi’i, Peta Intelektual Muslim Indonesia, (Bandung: Mizan, 1994).
Mulkhan, Abdul Munir, Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan dan Dakwah. (Yogyakarta: SI Press, 1992).
Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam, (Semarang : PT Karya Toha Putra, 2004).
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 19975).
Nasution, Harun, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: UI-Press, 1987).
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI Press, 2008).



[1]Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan dan Dakwah. (Yogyakarta: SI Press,1992), 123.
[2]Syafi’i Ma’arif, Peta Intelektual Muslim Indonesia, (Bandung: Mizan, 1994), 40.
[3]Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: UI-Press, 1987), 1.

[4]Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Islam: Dirasah Islamiah III, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), 78.

[5]Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, 11.
[6]Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 19975), 10.
[7]Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam, (Semarang : PT Karya Toha Putra, 2004), 123.
[8]Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam…, 124.
[9]Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam…, 132.

[10]Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam…, 125.
[11]Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI Press, 2008), 129-130.
[12]Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara…, 131.

Selasa, 11 April 2017

SUBYEK DAN OBYEK PENDIDIKAN ISLAM { Q.S Ar-Rahman : 1-4, An-Nahl : 43, At-Tahrim : 6 dan An-Nisa : 170 }




MAKALAH
SUBYEK DAN OBYEK PENDIDIKAN ISLAM
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah :
TAFSIR TARBAWI
Dosen :
Mohammad Zaenal Arifin, MA




DISUSUN OLEH :
UNI ZAEFAH : 1516.01.023

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEMESTER IV
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM BINAMADANI
TAHUN AKADEMIK 2016/2017
 


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Al-Qur’an yang diturunkan melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. sebagai pedoman bagi kehidupan manusia (way of life) mengandung beberapa aspek yang terkait dengan pandangan hidup yang dapat membawa manusia ke jalan yang benar dan menuju kepada kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Dari beberapa aspek tersebut, secara global terkandung materi tentang kegiatan belajar-mengajar atau pendidikan yang tentunya membutuhkan komponen-komponen pendidikan, diantaranya yaitu pendidik dan peserta didik.
Pendidik dalam proses pendidikan adalah salah satu faktor yang sangat penting untuk mencapai tujuan pendidikan. Selain pendidik, peserta didik juga mempunyai peran penting dalam proses pendidikan, tanpa adanya peserta didik maka pendidik tidak akan bisa menyalurkan pengetahuan yang dimilikinya sehingga proses pembelajaran tidak akan terjadi dan menghambat tercapainya tujuan pendidikan antara pendidik dan peserta didik harus sejalan agar tujuan pendidikan dapat tercapai.
B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.    Bagaimana tafsir Q.S Ar-Rahman ayat 1-4, Q.S An-Nahl ayat 43, Q.S At-Tahrim ayat 6 dan Q.S An-Nisa ayat 170 ?
2.    Bagaimana keterkaitan Q.S Ar-Rahman ayat 1-4, Q.S An-Nahl ayat 43, Q.S At-Tahrim ayat 6 dan Q.S An-Nisa ayat 170 dalam pendidikan ?
C.      Tujuan Pembahasan
1.      Mengetahui dan mempelajari tentang tafsir Q.S Ar-Rahman ayat 1-4, Q.S An-Nahl ayat 43, Q.S At-Tahrim ayat 6 dan Q.S An-Nisa ayat 170.
2.      Mengetahui keterkaitan Q.S Ar-Rahman ayat 1-4, Q.S An-Nahl ayat 43, Q.S At-Tahrim ayat 6 dan Q.S An-Nisa ayat 170 dalam pendidikan.

BAB II
PEMBAHASAN
A.      Q.S Ar-Rahman Ayat 1-4 Dan Terjemahannya
الرَّحْمَنُ ﴿١﴾ عَلَّمَ الْقُرْآنَ ﴿٢﴾ خَلَقَ الْإِنسَانَ ﴿٣﴾ عَلَّمَهُ الْبَيَانَ ﴿٤﴾
1.    (Tuhan) Yang Maha Pemurah,
2.    Yang telah mengajarkan Al Qur'an.
3.    Dia menciptakan manusia,
4.    Mengajarnya pandai berbicara. (Q.S Ar-Rahman : 1-4)[1]
B.         Mufradat (Kosa Kata) Q.S Ar-Rahman Ayat 1-4
الرَّحْمَنُ          : Yang Maha Pemurah
عَلَّمَ الْقُرْآنَ              : Yang telah mengajarkan Al Qur'an
خَلَقَ              : Menciptakan
 الْإِنسَانَ         : Manusia
عَلَّمَهُ الْبَيَانَ      : Mengajarnya pandai berbicara
C.      Penafsiran Q.S Ar-Rahman Ayat 1-4
Pada ayat ini dijelaskan bahwa Allah mengajari Nabi Muhammad Al-Qur’an, dan Nabi Muhammad mengajarkannya pada umatnya. Ayat ini turun sebagai jawaban kepada makhluk Makkah ketika mereka mengatakan “Sesungguhnya Al-Qur’an itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)” (Q.S An-Nahl : 103)[2]
Dan oleh karena surat ini menyebut-nyebut tentang nikmat-nikmat yang telah Allah anugerahkan kepada hamba-hamba-Nya, maka terlebih dahulu Allah menyebutkan nikmat yang merupakan nikmat terbesar kedudukannya dan terbanyak manfaatnya, bahkan paling sempurna faidahnya yaitu nikmat diajarkannya Al-Qur’an. Karena dengan mengikuti Al-Qur’an, maka diperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat dan dengan menempuh jalan-Nya. Lalu, diperoleh segala keinginan di dunia dan di akhirat, karena Al-Qur’anlah puncak dari segala kitab samawi, yang telah diturunkan pada makhluk Allah yang terbaik.[3]
Stelah menyebutkan nikmat tersebut, Allah menyebutkan pula nikmat penciptaan yang merupakan pangkal segala urusan dan segala sesuatu. Allah telah menciptakan umat manusia dan mengajarinya ungkapan apa yang terlintas dalm hatinya dan terdetik dalam sanubarinya. Sekiranya tidak demikian, maka Nabi Muhammad takkan dapat mengajarkan Al-Qur’an kepada umatnya.[4]
Manusia itu makhluk sosial menurut tabiatnya, yang tak bisa hidup kecuali bermasyarakat dengan sesamanya, maka haruslah ada bahasa yang digunakan untuk saling memahamkan, dan untuk menulis kepada sesamanya, disamping itu untuk memeliharailmu-ilmu terdahulu, supaya dapat diambil manfaatnya oleh generasi berikut, dan supaya ilmu-ilmu itu dapat ditambah oleh generasi mendatang atas hasil usaha diperoleh oleh generasi yang lalu.[5]

D.      Keterkaitan Q.S Ar-Rahman Ayat 1-4 Dengan Pendidikan
Surat Ar-Rahman ayat 1-4 merupakan ayat yang menjelaskan tentang subyek (pelaku) pendidikan. Nilai pendidikan yang terkandung dalam ayat ini adalah sebagai berikut:[6]
1.      seorang pendidik atau guru harus mempersiapkan dirinya dengan sifat rahman, yaitu mempunyai sifat kasih sayang kepada seluruh peserta didik atau murid tanpa pandang bulu, baik kepada murid yang pintar, bodoh, rajin, malas, baik ataupun nakal. Ilmu yang ditransfer dan diterapkan dengan dasar kasih saying akan besar efeknya kepada murid, terutama dalam penyerapan ilmu yang ditransfer.
2.      sebelum guru berada dihadapan siswa. Guru harus terlebih dahulu mempersiapkan dalam artian menguasai, memahami materi yang akan disampaikan kepada siswa. Sehingga seorang guru dapat maksimal mentransfer ilmunya kepada siswa.
3.      Seorang guru apapun materi yang ia ajarkan hendaknya mengarahkan siswanya menjadi manusia yang berpengetahuan, beradab dan bermartabat yang berujung kepada ketaqwaan kepada Yang MahaEsa. Bukan hanya mengarah kanpada aspek prestasi saja.
4.      seorang guru apapun pelajaran yang disampaikan, sampaikanlah dengan sejelas-jelasnya, sampai pada tahap seorang siswa benar-benar faham. Jangan sampai seorang siswa belum betul-betul faham pada materi yang diajarkan sudah pindah kemateri yang lain.

E.       Q.S An-Nahl Ayat 43 dan Terjemahannya
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ إِلاَّ رِجَالاً نُّوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ ﴿٤٣﴾
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (Q.S An-Nahl : 43)[7]

F.       Mufradat (Kosa Kata) Q.S An-Nahl Ayat 43
وَمَا أَرْسَلْنَا                           : Dan kami tidak mengutus                      
مِن قَبْلِكَ                      : Sebelum kamu                                              
إِلاَّ رِجَالاً نُّوحِي         : Kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu 
فَاسْأَلُواْ             : Maka bertanyalah   
أَهْلَ الذِّكْر                  : Orang yang mempunyai pengetahuan
إِن كُنتُمْ                      : Jika kamu
لاَ تَعْلَمُونَ                   : Tidak mengetahui
G.      Penafsiran Q.S An-Nahl Ayat 43
Dalam ayat-ayat terdahulu Allah mengetengahkan apa yang dikatakan oleh orang-orang musyrik, bahwa mereka tidak membutuhkan para nabi. Di dalam ayat ini Allah menyajikan kesalahpahaman mereka yang lain. Mereka mengatakan, sekiranya Allah hendak mengutus seorang rasul, maka rasul itu bukan seorang manusia, karena Allah Maha Tinggi dan Maha Agung dari rasul-Nya salah seorang diantara manusia, sekiranya Dia mengutus rasul dari kami, tentu Dia mengutus malaikat. Kemudian Allah menjawab kesalahpahaman ini, bahwa telah menjadi sunah Allah untuk mengutus para rasul-Nya dari manusia.[8]
Ad-Dahak meriwatatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ketika Allah mengutus Nabi Muhammad orang-orang Arab mengingkari pengutusannya itu dan berkata “Allah Maha Agung dari menjadikan utusan-Nya seorang manusia.
Maka tanyakanlah kepada ahli kitab dahulu di antara orang-orang Yahudi dan Nasrani, apakah para utusan yang diutus kepada mereka itu manusia atau malaikat? Jika mereka itu malaikat silakan kalian mengingkari Nabi Muhammad, tetapi jika mereka itu manusia, jangan kalian ingkari dia.[9]

H.      Keterkaitan Q.S An-Nahl Ayat 43 Dengan Pendidikan
Pengertian yang lain tentang فاسألوا أهل الذكر“Bertanyalah kalian kepada ahli Alquran” secara eksplisit menjelaskan bahwa yang menjadi subyek pendidikan bukan hanya pendidik atau guru, melainkan juga anak didik. Karena itu ayat ini dapat menjadi dasar bagi pengembangan teori belajar siswa aktif dan metode tanya jawab dalam proses belajar mengajar. Pada saat guru tengah memberikan bimbingan dan pendidikan kepada siswa, posisi siswa adalah obyek, tetapi pada saat yang sama, ia juga berperan sebagai subyek. Sebab, tugas guru tidak hanya menyampaikan bahan-bahan ajar kepada siswa, tetapi ia juga bertanggung jawab untuk sedapat mungkin membangkitkan minat dan motivasi belajar siswa agar mereka dapat melakukan pembelajaran sendiri.[10]

I.         Q.S At-Tahrim Ayat 6 dan Terjemahannya
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ ﴿٦﴾
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperimtahkan.” (Q.S At-Tahrim : 6)[11]

J.        Mufradat (Kosa Kata) Q.S At-Tahrim Ayat 6
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا                 : Hai orang-orang yang beriman
قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ     : Peliharalah dirimu dan keluargamu
نَاراً                                       : Api neraka
وَقُودُهَا                       : Bahan bakarnya
النَّاسُ                        : Manusia
الْحِجَارَةُ                     : Batu
غِلَاظٌ                         : Kasar
شِدَادٌ                          : Keras
لَا يَعْصُونَ اللَّهَ            : Tidak mendurhakai Allah
مَا أَمَرَهُمْ                     : Apa yang diperintahkan-Nya
وَيَفْعَلُونَ                     : Dan selalu mengerjakan
مَا يُؤْمَرُونَ                           : Aapa yang diperintahkan
K.      Penafsiran Q.S At-Tahrim Ayat 6
Wahai orang-orang yang percaya kepada Allah dan Rasul-Nya, hendaklah sebagian dari kamu memenberitahukan kepada sebagian yang lain, apa yang dapat menjaga dirimu dari api neraka dan menjauhkan kamu dari padanya, yaitu ketaatan kepada Allah Ta’ala dan menuruti segala perintah-Nya. Dan hendaklah kamu mengajarkan kepada keluargamu perbuatan yang dengannya mereka dapat menjaga diri mereka dari api neraka. Dan bawalah mereka kepada yang demikian ini melalui nasihat dan pengajaran.[12]
Malaikat-malaikat itu diserahi neraka untuk mengurusnya dan menyiksa para penghuninya. Mereka keras dan kasar terhadap para penghuni neraka itu. Mereka tidak menyalahi perintah-Nya, tetapi mereka itu juga tanpa selang. Mereka tidak mendahului dan tidak menunda perintah-Nya.[13]

L.       Keterkaitan Q.S At-Tahrim Ayat 6 Dengan Pendidikan
1)   Perintah taqwa kepada Allah SWT dan berdakwah
Dalam ayat ini firman Allah ditujukan kepada orang-orang yang percaya kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, yaitu memerintahkan supaya mereka, menjaga dirinya dari api neraka yang bahan bakarnya terdiri dari manusia dan batu, dengan taat dan patuh melaksanakan perintah Allah, dan mengajarkan kepada keluarganya supaya taat dan patuh kepada perintah Allah untuk menyelamatkan mereka dari api neraka. Api neraka disediakan bagi para kafir / pendurhaka yang tidak mau taat kepada Allah dan yang selalu berbuat maksiat. Neraka adalah balasan setimpal bagi para pembuat kemungkaran, kemusyrikan dan kekacauan. Bahan bakar api neraka seperti dijelaskan dalam ayat diatas adalah manusia, sungguh mengerikan tidak dapat kita bayangkan manusia menjadi bahan bakar dan juga bahan bakarnya adalah batu, dalam tafsir ibnu katsir dijelaskan bahwa batu yang dimaksud adalah batu yang sering dijadikan sesembahan oleh para musyrikin atau berhala.[14]
2)   Anjuran menyelamatkan diri dan keluarga dari api neraka
Banyak sekali amalan shalih yang menjadikan seseorang masuk surga dan dijauhkan dari api neraka, misalnya bersedekah, berdakwah, berakhlaq baik, saling tolong menolong dalam kebaikan dan sebagainya. Di antara cara menyelamatkan diri dari api neraka itu ialah mendirikan shalat dan bersabar.
3)   Pentingnya pendidikan Islam sejak dini
Dalam lima tahun pertama seorang anak mempunyai potensi yang sangat besar untuk berkembang. Pada usia ini 90% dari fisik otak anak sudah terbentuk. Karena itu, di masa-masa inilah anak-anak seyogyanya mulai diarahkan. Karena saat-saat keemasan ini tidak akan terjadi dua kali, sebagai orang tua yang proaktif kita harus memperhatikan benar hal-hal yang berkenaan dengan perkembangan sang buah hati, amanah Allah.

M.     Q.S an-Nisa Ayat 170 dan Terjemahannya
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءكُمُ الرَّسُولُ بِالْحَقِّ مِن رَّبِّكُمْ فَآمِنُواْ خَيْراً لَّكُمْ وَإِن تَكْفُرُواْ فَإِنَّ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَكَانَ اللّهُ عَلِيماً حَكِيماً ﴿١٧٠﴾
“Wahai manusia, sesungguhnya telah datang Rasul (Muhammad) itu kepadamu dengan (membawa) kebenaran dari Tuhanmu, maka berimanlah kamu, itulah yang lebih baik bagimu. Dan jika kamu kafir, (maka kekafiran itu tidak merugikan Allah sedikitpun) karena sesungguhnya apa yang di langit dan di bumi itu adalah kepunyaan Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S an-Nisa : 170)[15]
N.      Mufradat (Kosa Kata) Q.S an-Nisa Ayat 170
يَا أَيُّهَا النَّاسُ            : Wahai manusia
قَدْ جَاءكُمُ الرَّسُولُ              : Sesungguhnya telah datang Rasul (Muhammad)
بِالْحَقِّ                    : Dengan (membawa) kebenaran
مِن رَّبِّكُمْ                 : Dari Tuhanmu
فَآمِنُواْ                    : Maka berimanlah kamu
خَيْراً لَّكُمْ                 : Itulah yang lebih baik bagimu
وَإِن تَكْفُرُواْ                      : Dan jika kamu kafir
السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ            : Langit dan Bumi
عَلِيماً حَكِيماً             : Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana
O.      Penafsiran Q.S an-Nisa Ayat 170
Setelah Allah swt. Memberi hujjah kepada Ahli Kitab dan menolak keraguan dan usul mereka yang sembrono dan bersifat menentang, maka beralihlah pembicaraan Allah ditujukan kepada umat manusia seluruhnya. Maka, mereka diperintahkan supaya beriman. Sesudah itu, Allah katakan pula janji-Nya atas amal kebaikan dan ancaman-Nya terhadap perbuatan jahat, yakni sebagai isyarat, bahwa alasan telah cukup jelas, dan hujjah tak bisa lagi dibantah. Jadi tidak tersisa lagi alasan apa pun untuk tidak mau atau menghalangi orang lain yang akan mengikuti seruan Nabi dan menerima kebenaran dari Rasul yang mulia ini.[16]
Maka, berimanlah kalian; itu lebih baik bagimu. Karena iman akan membersihkan dan mensucikan kamu dari dosa dan kejahatan, bahkan membuatmu patut mendapat kebahagiaan abadi.
Dan kalau kamu kafir, maka sesungguhnya Allah tidak butuh imanmu dan Allah Maha Kuasa dalam memberi balasan atas akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kekafiran dan perbuatanmu yang buruk. Karena, Allah mempunyai apa saja yang ada di langit dan bumi. Semua itu milik-Nya dan ciptaan-Nya, dan semuanya adalah hamba-Nya. Mereka tunduk kepada hukum-Nya, baik dan taat atau paksaan. Penghambaan paksaan tanpa kehendak sendiri (ikhtiar), adalah terjadi dengan ketundukan terhadapkekuasaan dan sunah-sunah-Nya di alam semesta. Penghambaan itu bersifat umum, mencakup seluruh makhluk, baik yang berakal maupun tidak. Sedang pengabdian ikhtiar adalah khusus dilakukan oleh orang-orang Mu’min yang baik-baik, dan para Malaikat yang suci.[17]
Dan adalah Allah itu Maha Tahu dengan ilmu-Nya yang meliputi, dan Maha Bijaksana dengan kebijaksanaan yang sempurna dalam segala perbuatan dan hukum-hukum-Nya. Bagi-Nya, perkara kamu beriman, kafir atau seluruh keadaan yang lain itu tidaklah tersembunyi. Dan diantara kebijaksanaan Allah, bahwa Dia memberimu balasan atas dosa-dosa dan kemaksiatan yang kamu lakukan. Karena Allah menciptakan kamu ini tidaklah sia-sia, dan takkan membiarkan begitu saja.
Oleh karena itu, berhagialah  orang yang mampu menahan diri dari kemauan nafsunya, dan lebih mengutamakan kehidupan akhirat daripada dunia. Celakalah bagi orang yang tak mau larangan-Nya, bahkan bersahabat dengan setan dan tentara-tentaranya.[18]

P.       Keterkaitan Q.S an-Nisa Ayat 170 Dengan Pendidikan
Dalam ayat ini Allah menyeru manusia untuk manusia, sebab sudah ada Rasul (Nabi Muhammad SAW) yang diutus untuk membawa syari’at yang benar. 
Adapun manusia, karena adanya kesamaan jenis, ukhuwah basyari’ah, maka dakwah dan tarbiyahnya kepada non muslim pun harus dilakukan, tentunya dengan jalan yang baik.
Nabi SAW bersabda: “dari Abdullah ibn ‘Amr ibn Al Ash ra. Berkata, sesungguhnya Nabi SAW bersabda: sampaikanlah dariku walau satu ayat…” (HR.Bukhari).
 menunjukkan bahwa yang menjadi objek pendidikan adalah seluruh manusia, baik yang muslim maupun non muslim merupakan objek dakwah dan tarbiyah. Namun disini perlu diluruskan bahwa proses dakwah dan tarbiyah tidak harus dengan kekerasan dan perang, tetapi dengan jalan yang hikmah, mau’idhoh hasanah, dan argument yang bertanggungjawab.[19]



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Subjek pendidikan adalah orang ataupun kelompok yang bertanggung jawab dalam memberikan pendidikan, sehingga materi yang diajarkan atau yang disampaikan dapat dipahami oleh objek pendidikan. Subjek pendidikan yang dipahami kebanyakan para ahli pendidikan adalah Orang tua, guru-guru di institusi formal (di sekolah) maupun non formal dan lingkungan masyarakat, sedangkan pendidikan pertama (tarbiyatulawwal) yang kita pahami selama ini adalah rumah tangga (orang tua).Sebagai seorang muslim kita harus menyatakan bahwa pendidik pertama manusia adalah Allah yang kedua adalah Rasulullah.





















DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghi, Ahmad Musthafa, Tafsir Al-Maraghi, Juz VI, (Semarang : CV Toha Putra, 1989)
Al-Maraghi, Ahmad Musthafa, Tafsir Al-Maraghi, Juz XIV, (Semarang : CV Toha Putra, 1989).
Al-Maraghi, Ahmad Musthafa, Tafsir Al-Maraghi, Juz XXVII, (Semarang : CV Toha Putra, 1989).
Al-Maraghi, Ahmad Musthafa, Tafsir Al-Maraghi, Juz XXVIII, (Semarang : CV Toha Putra, 1989).
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, (Jakarta : PT Sygma Examedia Arkanleema, 2009).
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (volume 14), (Tangerang : Lentera Hati, 2007).
Nata, Abuddin, Tafsir ayat-ayat pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.2002).
Gojali, Nanang, Manusia, Pendidikan dan Sains Tafsir Hermeneutik, (cet, I; Jakarta: PT Reneka Cipta, 2004).



[1]Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, (Jakarta : PT Sygma Examedia Arkanleema, 2009), 531.
[2]Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Juz XXVII, (Semarang : CV Toha Putra, 1989), 195-196.
[3]Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Juz XXVII..., 196.
[4]Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Juz XXVII..., 196.
[5]Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Juz XXVII..., 196.  
[6]http://www.scribd.com/doc/39328156/SUBYEK-PENDIDIKAN , diakses pada tanggal 10 April 2017.
[7]Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya…, 272.
[8]Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Juz XIV, (Semarang, CV Toha Putra),  159.
[9]Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Juz XIV…, 161.
[10]Nanang Gojali, Manusia, Pendidikan dan Sains Tafsir Hermeneutik, (cet, I; Jakarta: PT Reneka Cipta, 2004), 161.
[11]Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya…, 560.
[12]Al-Maraghi, Ahmad Musthafa, Tafsir Al-Maraghi, Juz XXVIII, (Semarang : CV Toha Putra, 1989), 272.
[13]Al-Maraghi, Ahmad Musthafa, Tafsir Al-Maraghi, Juz XXVIII…, 273-274.
[14]M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (volume 14), (Tangerang : Lentera Hati, 2007), 236.
[15]Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya…, 104.
[16]Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Juz VI, (Semarang, CV Toha Putra),  47.
[17]Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Juz VI …, 48.
[18]Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Juz VI…, 49.
[19]Abuddin Nata, Tafsir ayat-ayat pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.2002). 159.